Ekonom: PLTA pro lingkungan dan hemat devisa

4 Agustus 2018 14:02 WIB
Ekonom: PLTA  pro lingkungan dan hemat devisa
Wahyu Ario Pratomo, ekonom, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara (Agustus 2018). (Foto Istimewa) (istimewa)

Sumber dayanya ada, dan tersedia dalam jumlah yang banyak seperti aliran sungai, air terjun, dan sumber daya air lainnya,

Jakarta (ANTARA News) - Pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dinilai pro lingkungan, sesuai dengan konsep energi terbarukan dan hemat devisa.

Wahyu Ario Pratomo dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu, menanggapi rencana pembangunan PLTA di sejumlah daerah yang dilakukan pemerintah saat ini, termasuk di Sumatera Utara.

Ekonom Regional Kemenkeu dan Bank Indonesia menyatakan membangun PLTA membutuhkan syarat penting, yaitu ketersediaan sumber daya air yang besar.

Untuk itu, perlu pengelolaan sumber daya air seperti perlunya waduk dan kelestarian hutan sebagai sumber utama ketersediaan air.

"Sumatera Utara memiliki masalah besar dalam menjaga kelestarian hutan, mengingat hutan yang terus berkurang akibat perambahan dan ekspansi lahan pertanian dan perkebunan," ujar Wahyu.

Di sisi lain, PLTA sangat ramah dengan lingkungan hidup karena tidak menimbulkan polusi sebesar PLTDiesel dan PLTUap yang berbahan baku batubara.

"Apalagi PLT Nuklir yang berisiko besar jika terjadi kebocoran," ujarnya.

Dia menilai, PLT Panas Bumi bisa menjadi alternatif  lain yang juga ramah lingkungan. "Hanya saja ketersediaannya acap kali di daerah yang terisolir dan kawasan hutan yg dekat dengan pegunungan, namun cukup berpotensi untuk dikembangkan," kata dosen yang acap berbicara di forum seminar dan diskusi itu.

PLTA dan PLT Panas Bumi saat ini menjadi alternatif utama karena bisa menghemat devisa dibanding penggunaan energi fosil yang masih sangat dominan saat ini.

Potensial
Dia menilai, PLTA maupun mini hydro merupakan pilihan yang realistis di Sumut untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat ditahun-tahun berikutnya.

"Sumber dayanya ada, dan tersedia dalam jumlah yang banyak seperti aliran sungai, air terjun, dan sumber daya air lainnya," ucap Wahyu.

Potensi sumber daya air Indonesia sebenarnya berlimpah, hanya saja perlu investasi yang besar. Meski demikian, itu lebih baik, dibanding pembangkit yang menggunakan energi fosil.

Pembangunan PLTA menjadikan ketergantungan terhadap minyak akan berkurang. Di sisi lain, harga minyak akan terus naik karena sumber dayanya akan habis.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo menyatakan, ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh bila pemerintah mulai bergerak menggunakan energi baru terbarukan.
 
Di antaranya penghematan devisa yang bisa didapatkan sebagai akibat dari pengurangan impor minyak sebagai kebutuhan bahan baku pembangkit energi fosil. Nilai penghematan itu bahkan bisa mencapai sekitar USD 21 juta per hari.

Wahyu menganggap penting mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Untuk meengantisipasi krisis energi, perlu dibangun pembangkit listri yang baru, yang menggunakan energi yang terbarukan, seperti panas bumi, angin, dan terutama air. 

Contoh Ideal
Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) Sarulla di Tapanuli Utara, dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, dinilai merupakan contoh yang ideal dalam penggunakan sumber daya energi yang terbarukan. 

"Investasinya memang besar, tetapi biaya operasionalnya kecil karena sumberdaya yang melimpah," ucap Wahyu.

Di Sumut juga sedang diproses pembangunan PLTA Batangtoru yang mengandalkan aliran sungai Batangtoru, Tapanuli Selatan. Diproyeksikan beroperasi pada 2022.

PLTA ini akan memasok listrik berkekuatan 510 megawatt dan akan menghemat belanja negara sebesar Rp 5,4 triliun per tahun.

"Pembangkit listrik yang menggunakan energi baru dan terbarukan merupakan pilihan realistis dan harus didukung dan dipercepat agar permasalahan energi teratasi," demikian Wahyu.

Baca juga: Kementerian ESDM dorong pemda rencanakan pembangkit listrik

Pewarta: Erafzon Saptiyulda SAS
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018