"Ada beberapa poinperbaikan permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim sebelumnya," ujar kuasa hukum pemohon, Erdiana, di Gedung MK Jakarta, Selasa.
Erdiana memaparkan bahwa salah satu perbaikan yang dilakukan terkait dengan dengan kedudukan hukum pemohon yang merupakan seorang terpidana dan merasa hak konstitusionalnya telah terlanggar karena pemohon merasa tidak memperoleh kepastian hukum yang berkeadilan terkait dengan pembatasan permohonan peninjauan kembali (PK).
Lebih lanjut pemohon mendalilkan bahwa permohonan PK selain perkara pidana seharusnya diperbolehkan, mengingat Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur batas PK masih berlaku dan bersifat "lex generalis".
Pemohon juga mempertegas bahwa permohonannya berbeda dengan uji materi mengenai ketentuan PK lainnya.
Dalam dalilnya pemohon menilai Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 hanya memperbaiki Pasal 268 KUHAP, namun tidak mengajukan perbaikan UU MA dan Kekuasaan Kehakiman mengenai MK.
"Sehingga UU MA dan Kekuasaan Kehakiman masih berlaku, baik untuk PK Pidana maupun Perdata, dan atas dasar hukum, belum dilakukannya perbaikan kedua UU tersebut," jelas Erdiana.
Sebelumnya pemohon yang merupakan terpidana telah mengajukan permohonan PK namun ditolak.
Pemohon kemudian merasa telah menemukan alat bukti baru (novum) sehingga kembali mencoba untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) untuk kedua kalinya, namun menjadi sia-sia karena adanya pembatasan dalam undang-undang a quo.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018