Guncangan dahsyat dengan magnitudo 7 SR kembali memorak-porandakan "Pulau Seribu Masjid", julukan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada Minggu (5/8) pukul 19.46 Wita, lebih besar dari sebelumnya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebutkan pusat gempa terletak pada 8,37 lintang selatan, 116,48 bujur timur pada lereng utara-timur laut Gunung Rinjani dengan kedalaman 15 kilometer dan sempat dinyatakan berpotensi tsunami.
Data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB pada Selasa (7/8) malam, jumlah korban meninggal dunia sebanyak 108 orang. Sebagian besar warga Kabupaten Lombok Utara, sisanya di Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Kota Mataram.
Sementara jumlah korban luka-luka mencapai lebih dari 200 orang dirawat di puskesmas-puskesmas dan rumah sakit milik Pemerintah Provinsi NTB dan kabupaten/kota di Pulau Lombok.
Hampir seluruh korban luka dan meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan dan rata-rata mengalami luka berat di bagian kepala. Korban diperkirakan akan terus bertambah karena masih ada warga yang belum bisa dievakuasi dari reruntuhan bangunan kecuali dengan menggunakan alat berat.
Nyawa yang melayang dan parahnya tingkat kerusakan akibat gempa kedua dengan skala yang lebih besar tersebut tak disangka-sangka di tengah kewaspadaan warga atas ratusan gempa susulan dengan magnitudo 3-5 SR, pascagempa pertama 6,4 SR (29 Juli 2018).
Apalagi guncangan kedua ini diikuti dengan peringatan tsunami yang membuat warga panik ketakutan.
Suasana mencekam
Beberapa menit setelah gempa terjadi dengan kekuatan 7 SR, warga Kota Mataram yang merasakan guncangan relatif keras ramai-ramai berkumpul di jalanan.
Banyak di antaranya hanya mengenakan pakaian apa adanya atau hanya celana tanpa baju sambil menggendong anaknya. Bahkan ada pula perempuan yang hanya menutup tubuhnya dengan handuk karena tidak sempat memakai baju ketika panik.
Pekik "Allahuakbar" dikumandangkan oleh sejumlah warga yang masih merasakan getaran gempa di jalanan.
Anak-anak menangis dalam gendongan ibunya. Ada juga perempuan pingsan karena panik. Termasuk, jeritan anak balita mencari ayahnya mewarnai malam gempa yang begitu mencekam.
Suasana panik warga semakin kuat ketika tiba-tiba listrik padam. Hampir semua warga tak ada yang sempat membawa senter dan telepon genggam untuk berkomunikasi dan sekedar menerangi jalanan.
Riuh suara ada tsunami membuat suasana semakin panik. Isu naiknya air laut diikuti dengan eksodus warga dari arah pesisir Ampenan menuju timur makin membuat suasana Kota Mataram, ibu kota Provinsi NTB semakin gaduh .
Beberapa orang mencoba menenangkan warga lainnya bahwa belum ada informasi resmi akan ada tsunami. Namun seolah sia-sia. Sebagian warga masih panik dan bingung harus lari dan berlindung ke mana agar nyawa terselamatkan dari isu bencana air laut.
Roni, salah seorang warga Kelurahan Kebon Sari, Kota Mataram, nekat masuk ke dalam rumahnya mengambil kunci motor dan perlengkapan lain untuk mengungsi.
Dengan cepat, ia keluar dari dalam rumah dan langsung menghidupkan sepeda motornya. Isteri dan anak balitanya diangkut tanpa tujuan yang pasti. Yang penting adalah mencoba lari dari kemungkinan ditenggelamkan air laut yang naik ke daratan. Alhasil ia hanya menambah kemacetan di mana-mana.
Suasana mencekam juga terjadi di sebagian besar wilayah Kabupaten Lombok Utara. Daerah otonom termuda di NTB ini, merupakan yang paling parah terkena dampak gempa karena dekat dengan lereng Gunung Rinjani atau pusat gempa.
Warga yang tinggal di dataran rendah berduyun-duyun mengungsi ke perbukitan, tak peduli harta benda, karena selamatkan nyawa lebih utama.
Hanya pakaian, selimut dan tikar seadanya yang dibawa. Tak ada bekal banyak yang bisa dibawa karena panik atas gempa dahsyat yang menimpa.
Ada yang melangkahkan kaki menuju pegunungan diiringi tangis karena rumah roboh rata dengan tanah. Ada juga yang berdarah-darah karena tertimpa reruntuhan bangunan.
Sri Kartini, seorang warga Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, menangis karena kehilangan harta benda saat berada di pengungsian. Hingga Selasa, ia masih berada di pegunungan tanpa tenda terpasang.
Mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Mataram ini seperti warga lainnya juga, menunggu bantuan bahan makanan dan tenda serta tenaga kesehatan agar bisa sedikit tenang menjalani hidup di pengungsian sementara.
Korban berjatuhan
Suasana mencekam juga terjadi di Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur.
Puluhan warga berkumpul di tanah lapang. Ada yang berdarah-darah karena terluka di bagian kepala, juga di kaki dan tangan.
Beberapa anak juga tampak tergeletak tak sadarkan diri. Kepalanya dibalut perban warna putih karena terluka tertimpa reruntuhan bangunan.
Bagi warga yang berada di tanah lapang tersebut, diberikan keselamatan oleh Allah SWT adalah hal yang paling disyukuri, meskipun mengalami luka-luka.
Beberapa korban dibawa oleh keluarganya dalam kondisi luka berat. Bahkan ada yang kakinya hancur setelah tertimpa reruntuhan bangunan.
Rintihan kesakitan pun menggema, baik anak-anak, perempuan dan laki-laki dewasa, serta warga lanjut usia karena mengalami luka robek cukup serius di bagian kepala atau tubuh lainnya.
Seorang bapak bernama Khairul yang mengenakan baju dalam putih penuh dengan noda darah, tampak muntah-muntah di jalan raya depan Rumah Sakit Angkatan Darat Mataram.
Pria asal Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat ini tak kuasa juga menahan tangis melihat tubuh anaknya Muhammad Khudori (14), terbujur kaku di atas mobil ambulans yang terparkir di hadapannya.
Anak pertamanya meregang nyawa setelah kepalanya terluka parah tertimpa reruntuhan bangunan saat gempa terjadi. Sempat dilarikan ke rumah sakit, namun meninggal dunia dalam perjalanan.
Khairul mencoba tetap tegar menerima takdir sang Maha Pencipta. Terlebih ada isteri dan anak keduanya yang masih menanti kepulangannya di pengungsian karena tempat tinggalnya rusak parah.
Baca juga: Korban meninggal akibat gempa Lombok menjadi 108 orang
Baca juga: BNPB akan bangun pos pendampingan penanganan gempa
Pewarta: Awaludin
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018