Sebanyak 13 seniman yang dipimpin mahasiswa jurusan tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Anton Prabowo itu, melakukan performa di areal persawahan dengan tanaman padi berumur 2-2,5 bulan di Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kabupaten Magelang.
Dusun Wonolelo menjadi lokasi festival tahunan secara swadaya para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.
Mereka melakukan gerak tari, melantunkan tembang Jawa, membaca puisi, dan melukis di dalam suasana alam terbuka persawahan tersebut dengan iringan sejumlah alat musik, antara lain gender, rebab, siter, seruling, dan gitar, selama sekitar 30 menit di areal tersebut.
Para seniman yang melakukan pentas performa "Jinjit" itu adalah gabungan mahasiswa ISI Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Magelang, dan Universitas Negeri Yogyakarta.
Suasana persawahan tempat mereka berpentas terkesan tenang dan dari kejauhan terdengar suara kokok ayam, penanda datang pagi.
Baca juga: Festival Lima Gunung, 40 seniman gelar pameran "rasah mikir"
Baca juga: "Penthul" si topeng raksasa di Festival Lima Gunung
Beberapa tamu festival dan seniman dari kelompok lain dari luar kota yang ikut dalam rangkaian agenda seni budaya tersebut menyaksikan pementasan performa "Jinjit" itu.
Salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung yang juga pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang Sitras Anjilin dan Kepala Dusun Wonolelo yang juga Ketua Sanggar Wonoseni, Desa Bandongan Pangadi juga menyaksikan pertunjukkan tersebut.
Ketua Katon Art Keron Anton Prabowo usai pementasan itu, mengatakan bahwa performa "Jinjit" merefleksikan tentang usaha manusia dalam menjalani proses kehidupan hingga tataran yang lebih tinggi.
"Jinjit usaha pertama untuk menjadi lebih tinggi. Jinjit butuh keseimbangan lebih," ujar Anton yang juga tergabung dalam Sanggar Saujana Keron, salah satu grup seniman Komunitas Lima Gunung.
Ia menyebut pilihan waktu Kanton Art Keron untuk performa "Jinjit" pada waktu menjelang matahari terbit atau pagi buta dan di areal persawahan dalam rangka Festival Lima Gunung, sebagai inspirasi tersendiri.
"Jinjit sebagai awal pagi, begitu juga di sawah sebagai tempat menanam," ucap dia.
Festival Lima Gunung XVII selama 10-12 Agustus 2018 dengan sekitar 80 pementasan dan agenda seni budaya lainnya, seperti pameran seni rupa, pengajian, kirab budaya, peluncuran buku, dan pidato kebudayaan oleh seniman komunitas itu dan jejaringnya di sekitar Magelang, beberapa kota di Indonesia, dan luar negeri.
Baca juga: Festival Lima Gunung "setengah kota-setengah desa"
Pewarta: Maximianus Hari Atmoko
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018