Jakarta (ANTARA News) - Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretaris Wapres RI Bambang Widianto mengatakan penanganan masalah kekerdilan anak di Indonesia tidak dapat diselesaikan dengan perbaikan gizi saja, namun perlu perbaikan di banyak sektor.Kita tidak bisa memberikan obat cacing di satu lokasi tanpa kita membangun jamban yang memenuhi standar kesehatan di situ. Akan percuma
Bambang di sela-sela seminar bertajuk Strategi Multi Sektor Dalam Penanganan Stunting, Jakarta, Selasa mengatakan masalah kekerdilan muncul akibat dari adanya sejumlah masalah yang terjadi di masyarakat, di antaranya kemiskinan, pendidikan yang rendah, gizi buruk, rendahnya kesadaran kesehatan dan tidak tersedianya fasilitas sanitasi yang memadai di rumah warga.
"Kita tidak bisa memberikan obat cacing di satu lokasi tanpa kita membangun jamban yang memenuhi standar kesehatan di situ. Akan percuma," katanya.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013, jumlah anak Indonesia yang mengalami kekerdilan mencapai sembilan juta orang atau 37 persen dari penduduk usia anak Indonesia.
Banyaknya anak yang menderita kekerdilan membuat pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Bambang mengatakan ada lima pilar yang menjadi program TNP2K dalam menangani masalah kekerdilan. Pilar pertama, yakni komitmen dan visi Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla sebagai pemimpin negara. Pilar kedua, mengampanyekan dan mengedukasi upaya menangani masalah kekerdilan.
Pilar ketiga, koordinasi antarkementerian dan lembaga untuk menyelesaikan masalah kekerdilan.
Pilar keempat, mewujudkan ketahanan pangan. Pilar kelima adalah pemantauan dan evaluasi kinerja.
Sementara dana APBN 2018 yang digelontorkan untuk penanganan kasus kekerdilan sebesar Rp47 triliun yang dialokasikan ke sejumlah kementerian lembaga ditambah Rp93 triliun yang digelontorkan ke pemerintah daerah dan disalurkan melalui dana desa.
Namun demikian, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan bahwa kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah kekerdilan anak di Indonesia adalah lemahnya kerja sama antarkementerian dan lembaga.
"Kerja sama dalam satu lembaga saja sulit apalagi ini banyak lembaga," kata Mardiasmo.
"Jadi sebetulnya kita tidak "lack of money", hanya "poor coordination", "poor action," katanya.
Mardiasmo mengakui bahwa kurangnya kerja sama dari berbagai pihak merupakan hambatan untuk mencapai tujuan Indonesia bebas masalah kekerdilan.
"Kita bisa kerja. Tapi kalau disuruh kerja sama, itu repot. Apalagi kaitannya dengan uang, aduh. Di sini itu, kerja sama multisektor itu harga paling mewah, karena (sulitnya) koordinasi itu," katanya.
Padahal, penanganan masalah kekerdilan di Indonesia tidak bisa ditangani satu kementerian/lembaga saja, tapi membutuhkan kerja sama banyak pihak karena masalah tersebut merupakan dampak dari sejumlah faktor yang saling terkait.
"Tidak usah banyak teori, mapping (pemetaan) sudah cukup. Tinggal bagaimana strategi eksekusinya di lapangan," katanya.
Baca juga: Menkes: pencegahan kekerdilan dari sekolah
Baca juga: Bank Dunia kagumi cara Indonesia tangani kasus kekerdilan anak
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018