Kepala Desa Watunonju, Suaid ,di Sigi, Rabu, membenarkan peserta SMN menginap selama dua malam yakni pada 14-15 Agustus 2018 di rumah penduduk di desa itu.
Mereka tidur dan makan di rumah orangtua asuh. "Ada 10 orangtua asuh di Desa Watunoju, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi yang menampung para peserta SMN," katanya.
Warga yang menjadi orangtua asuh bertanggungjawab menyediakan tempat tidur dan makan mereka.
Dan sudah menjadi kesepakatan desa untuk menu makan pagi, siang maupun malam, semuanya makanan khas di desa itu.
Menu utama makanan mereka adalah nasi, sayur kelor dan ikan rono/teri yang diolah secara tradisional. "Dan mereka sangat menyukainya," kata Suaid.
Desa Watunonju sendiri terletak di poros jalan provinsi yang menghubungkan Palu, ibu kota Provinsi Sulteng dengan sejumlah desa di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso.
Di Desa tersebut, terdapat taman budaya yang menyimpan berbagai situs sejarah, termasuk batu lesung yang oleh nenek moyang yang ada di desa itu digunakan sehari-hari sebagai tempat menumbuk padi.
Karena pada zaman dahulu belum ada mesin penggilingan padi. Karena itu batu lesung menjadi tempat menumbuk padi. Watunonju bahasa setempat adalah batu lesung.
Di desa Watononju juga terdapat makam raja Karanjalembah. Dahulu daerah Watunonju merupakan hutan dan ketika itu daerah Watunonju belum dihuni oleh manusia.
Manusia zaman itu hidup berkelompok dan selalu tinggal berpindah-pindah, tetapi ketika telah tumbuh pengetahuan tentang bercocok tanam, maka mereka umumnya tinggal di daerah pegunungan.
Kelompok manusia yang akan menjadi penduduk Watunonju adalah suatu kelompok yang bernamakan Hilonga. Mereka hidup di daerah Sigimpu. Pekerjaan mereka yaitu berburu binatang serta bercocok tanam.
Sebagai kebiasaan setelah panen, mereka mengadakan pesta syukuran yang bernama Movunja (pesta panen). Kemudian untuk kelengkapan acara, sebelum memulai pesta mereka berburu binatang sampai ke bukit yang banyak batu berlubang, menyerupai lesung.
Seluruh daerah itu awalnya merupakan hutan, akan tetapi karena mereka tinggal kini separuh dari hutan itu merupakan tempat pemukiman mereka.
Daerah itupun mereka namakan Watunonju (bahasa Suku Kaili yang berarti lumpang batu) kerena banyak mereka temukan lumpang batu atau batu yang berlubang. Akhirnya mereka merupakan cikal bakal penduduk Watunonju.
Pemerintah desa dan masyarakat yang ada di Desa Watunonju, kata Suaid, merasa sangat terhormat karena bisa menjadi orangtua asuh peserta SMN.
Dadang, salah satu orang tua asuh peserta SMN dari Bangka Belitung mengatakan senang menerima para peserta SMN. "Kami merasa gembira dan bahagia atas kehadiran mereka. Apalagi ditunjuk sebagai orang tua asuh siswa-siswi SMN," katanya.
Ia mengatakan ada tiga orang SMN yang tinggal dan makan bersama di rumahnya.
Mereka sudah akan meninggalkan Desa Watunonju pada Kamis (16/8) setelah usai makan pagi.
Dadang yang juga Ketua BPD Desa Watunonju mengatakan meski waktunya hanya dua malam tinggal di rumahnya, tetapi cukup berkesan.
Mereka sangat suka dengan keramatamahan warga Desa Watunonju. Juga sangat terkesan dengan suasana di desa yang terletak di perbukitan, tetapi mempunyai areal persawahan yang cukup luas.*
Baca juga: Peserta SMN jajal panser batalyon mekanis 201
Baca juga: Kodam Udayana apresiasi program Siswa Mengenal Nusantara
Baca juga: Peserta SMN jajal panser batalyon mekanis 201
Pewarta: Anas Masa
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018