"Tahun 1995 sampai sekitar 2013 mayoritas pekerjaan saya jadi sopir tembak. Bukan di Solo, tapi justru di Sragen dan Banyuwangi. Anak saya masuk kuliah 2013 lalu. Penghasilan sopir tembak pun untuk membayar biaya kuliah," kata Solihin dalam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Kamis.
Meski demikian, penghasilannya masih belum cukup. Pria yang tinggal di Gilingan, Surakarta, Jawa Tengah, bersama keluarganya itu mengungkapkan, sebagai sopir tembak dirinya hanya mendapatkan Rp700.000 sampai Rp900.000 per bulan sehingga kuliah anak pun terhambat.
Dia sempat merantau bekerja di perusahaan kayu di Luwu Utara, Sulawesi. Namun hanya satu tahun bertahan lantaran ada konflik antarwarga. Ia pun kembali ke Surakarta.
"Saya lalu dengar kabar dari teman jika Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi akan memberangkatkan transmigran menuju lokasi transmigrasi Mahalona, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Saya mencoba dan diterima. Lalu mengikuti persiapan dan berangkat tahun 2014 lalu," kata dia.
Pria tiga anak tersebut termotivasi mengikuti program transmigrasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Sulitnya hidup di Jawa membuatnya memutuskan menjadi transmigran.
"Pada saat itu cari gaji satu juta saja sulit. Bagaimana nanti nasib anak-anak yang masih kecil. Nah di lokasi transmigrasi saya dapat rumah dan tanggungan makan setahun. Lalu diberikan lahan1 hektare. Dua tahun kemudian diberikan lagi 1 hektare," ungkapnya.
Baca juga: Kemendes PDTT berikan penghargaan transmigran teladan
Meski sudah mendapatkan tanah, dia tak langsung menggarap lahan tersebut. Dengan uang pegangan sebesar Rp9 juta Solihin memilih untuk berdagang terlebih dahulu. Ia membeli merica milik masyarakat sekitar dan dijual kembali di pasar.
"Penjualan saya bagus. Saya bisa setor sampai Rp15 juta ke bos saya. Dalam sebulan sedikitnya saya bisa dapat Rp5 juta. Bos makin percaya dengan saya," sambungnya.
Dengan penghasilan itu, ia memilih untuk membeli lahan dari pada menabungnya. Usahanya tak sia-sia karena kini dirinya memiliki total lahan lima hektare untuk menanam merica. Sambil tetap berdagang, kini penghasilannya mencapai Rp600 juta setahun.
"Saya mulai fokus menanam merica pada 2015. Waktu itu harganya Rp170 ribu/ kilogram. Meski saat ini harganya turun, namun pasarnya tetap bagus. Dari provinsi bahkan selalu mencari merica di tempat saya," katanya.
Ia berharap infrastruktur pendukung pertanian di kawasan transmigrasi bisa lebih difasilitasi, misalnya jalan produksi tani, jembatan, serta percetakan sawah. Jika semua terpenuhi, maka para transmigran di Kota Terpadu Mandiri (KTM) Kawasan Transmigrasi Mahalona akan makmur.
"Pesan saya, jangan lelah mencari ilmu. Ilmu yang didapat coba diterapkan di tempat asal," pesannya.
Sejak 10 Agustus lalu, para transmigran teladan telah berada di Jakarta untuk mengikuti serangkaian kegiatan. Usai mengikuti Anugerah Transmigran Teladan, para transmigran teladan mengikuti Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia di Gedung DPR/MPR. Kemudian transmigran teladan terpilih akan mengikuti upacara kenegaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada 17 Agustus.
Baca juga: Puluhan perusahaan siap investasi di kawasan transmigrasi
Pewarta: Indriani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018