"Tora merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memberikan kepastian bagi masyarakat yang terlanjur mengelola kawasan hutan untuk pelbagai keperluan seperti berladang, bermukim dan lainnya," kata Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Pesisir Selatan Dinas Kehutanan Sumatera Barat, Madrianto di Painan, Kamis.
Hanya saja, tambahnya, lahan seluas 7.100 hektare yang masuk ke dalam peta indikatif TORA itu belum tentu masuk secara keseluruhan dan akan diputuskan oleh tim terpadu yang akan dibentuk.
Tim tersebut akan diketuai oleh Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat serta diperkuat oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Barat dan pejabat terkait lainnya.
Setelah diputuskan areal mana saja yang masuk ke dalam TORA, selanjutnya akan diterbitkan sertifikat hak milik bagi penghuninya dan mereka akan lebih leluasa mengelola sesuai kebutuhan.
Beberapa kriteria yang dinyatakan masuk areal TORA ialah adanya permukiman atau perkampungan, bangunan pemerintah dan lainnya.
"Saat ini seperti Nagari (Desa Adat) Lakitan Tengah, Pelangai Gadang, Sungai Lundang dan beberapa nagari lainnya, sebagian masyarakatnya sudah sejak lama bermukim dan berladang di kawasan hutan, namun tidak bisa membuat sertifikat hak milik karena terhambat status arealnya," ungkapnya.
Bagi masyarakat yang terlanjur mengelola kawasan hutan namun tidak direkomendasikan oleh tim terpadu untuk menjadi sasaran TORA maka akan diterapkan program perhutanan sosial dengan diterbitkannya hak kelola bagi mereka.
Menurut data dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Pesisir Selatan di wilayah setempat terdapat hutan lindung seluas 9.091 hektare, hutan produksi terbatas 46.274 hektare dan hutan produksi 4.563 hektare.
Baca juga: Menteri: TORA solusi konflik lahan kawasan hutan
Baca juga: 3.827 petani peroleh izin perhutanan sosial
Baca juga: KLHK: perhutanan sosial capai 1,75 juta ha
Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018