Jakarta (ANTARA News) - Hampir 500 perusahaan yang tidak mematuhi aturan di bidang lingkungan dan kehutanan telah dikenai sanksi oleh pemerintah dalam kurun waktu empat tahun terakhir.siapapun pelakunya harus diproses hukum. Bahkan kita lakukan proses hukum pada korporasi besar agar ada efek jera
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Dr Ir Siti Nurbaya Bakar ketika dimintai tanggapannya, Rabu, menegaskan, pihaknya sangat serius mengawal penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Siti Nurbaya yang tengah menunaikan ibadah haji di Mekkah ini mengaku terus mengikuti perkembangan yang terjadi di Tanah Air terkait karhutla dan juga soal vonis PN Palangka Raya, Kalimantan Tengah, yang mengabulkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo dan enam pihak lainnya terkait karhutla.
Landasan masalah tersebut, adalah kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015, beberapa saat ketika Jokowi baru saja menjabat sebagai Presiden.
Selanjutnya, sebagai wujud peningkatan dalam penegakan hukum, berbagai langkah koreksi penanganan kebakaran hutan dan lahan atau karhutla segera dilakukan secara besar-besaran oleh Presiden Jokowi.
Salah satunya meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk tidak gentar melawan segala bentuk kejahatan yang menjadi penyebab bencana menahun itu.
"Saya sangat serius mengawal penegakan hukum karhutla, siapapun pelakunya harus diproses hukum. Bahkan kita lakukan proses hukum pada korporasi besar agar ada efek jera," ucapnya, menegaskan.
Langkah ini belum pernah terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya.
Siti Nurbaya menjelaskan, dari tahun 2015 sampai saat ini sudah ada 510 kasus pidana LHK dibawa ke Pengadilan oleh penyidik Gakkum KLHK. Hasilnya, hampir 500 perusahaan yang tidak patuh telah dikenakan sanksi administratif.
Selain itu, puluhan korporasi yang dinilai lalai menjaga lahan mereka digugat secara perdata.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah melakukan lebih dari 200 operasi penanganan satwa ilegal dan "illegal logging" untuk mengamankan sumber daya negara dan menjaga kelestarian ekosistem. Termasuk di dalamnya penegakan hukum untuk menjerat perusak lingkungan hidup seperti kasus karhutla.
Terbesar
Dari catatan KLHK, sepanjang tahun 2015-2017, total putusan Pengadilan yang sudah dinyatakan inkracht untuk ganti kerugian dan pemulihan (perdata) mencapai Rp17,82 triliun. Sedangkan untuk nilai pengganti kerugian lingkungan di luar pengadilan (PNBP) senilai Rp36,59 miliar.
Angka ini menjadi yang terbesar dalam sejarah penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.
"KLHK memiliki komitmen dan konsistensi yang tinggi dalam penegakan hukum, termasuk untuk mencegah dan menanggulangi karhutla," tutur Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya mengungkapkan, pasal "sakti" UU Lingkungan Hidup yang bisa menjerat pelaku pembakaran lahan dan hutan pernah mendapat perlawanan dari kekuatan korporasi.
APHI dan GAPKI mengajukan "judicial review" (JR) terkait Pasal 69 ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 UU Lingkungan Hidup ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meski demikian kemudian mencabutnya karena mendapat perlawanan yang sangat keras dari publik.
Penerapan pasal dalam UU Lingkungan Hidup, untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Judicial review hanya upaya untuk melepas tanggung jawab, dengan mengkambing-hitamkan masyarakat atas ketidakmampuan korporasi sebagai pemegang izin dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di kawasan konsesi mereka.
Seharusnya korporasi mampu mencegah dan mengatasi meluasnya kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi mereka dengan berbagai cara serta peralatan yang memadai.
Pemegang izin, korporasi baik HTI maupun kebun sawit wajib mempunyai kemampuan dan siap untuk mencegah serta menanggulangi kebakaran di konsesi mereka.
Meluasnya kebakaran dikarenakan korporasi tidak mempunyai sarana, prasarana dan SDM yang memadai. "Agar tidak terulang, kami telah diterapkan sanksi administratif, perdata dan pidana dengan tegas," ujar Siti Nurbaya.
Penegakan hukum baik sanksi administratif, perdata dan pidana yang dilakukan KLHK, mampu memberikan efek jera dalam mendorong perusahaan memperbaiki perilaku dan kinerja pengelolaan lingkungan.
Siti Nurbaya menegaskan, penanganan karhutla secara menyeluruh dari hulu ke hilir selama masa pemerintahan Presiden Jokowi telah membawa hasil signifikan.
Ditambah dengan moratorium menyeluruh izin di lahan gambut, Indonesia akhirnya untuk pertama kali bisa bebas bencana karhutla dan asap secara nasional pada tahun 2016 dan 2017 setelah hampir dua dekade lamanya selalu mengalami bencana yang sama.
Selain itu, penanganan karhutla secara menyeluruh dari hulu ke hilir selama di masa pemerintahan Presiden Jokowi, telah membawa hasil signifikan.
Pahami Dulu
Sementara itu, ahli kebakaran hutan dan lahan dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo meminta semua pihak memahami dulu sejarah awal kasus yang bergulir di Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya.
Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya menerima gugatan terkait karhutla dan memutuskan bahwa tergugat dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan enam pihak lainnya bersalah dan harus membuat PP tentang Karhutla.
"Gugatan itu terkait kasus kebakaran tahun 2015 yang menjadi salah satu kejadian terburuk karhutla yang pernah dialami Indonesia," kata Bambang.
Saat itu Presiden Jokowi baru saja menjabat dan kasus karhutla memang sudah terjadi setiap tahun di daerah-daerah rawan. Banyak faktor menjadi penyebabnya, mulai dari "jor-joran" izin di masa lalu, alih fungsi lahan gambut, lemahnya penegakan hukum, hingga ketidaksiapan pemerintah saat titik api sudah meluas.
Seiring dengan berjalannya waktu, belajar dari karhutla 2015, Presiden Jokowi langsung mengambil langkah cepat dan tegas. Terjadi perubahan besar-besaran dalam menangani karhutla di Indonesia.
"Dari 12 tuntutan yang diajukan itu, semuanya satu persatu sudah dijalankan jauh sebelum ada gugatan," tambah Bambang.
Baca juga: TNI tangkap tangan tiga terduga pembakar lahan
Baca juga: Presiden: Kebakaran hutan-lahan turun signifikan
Baca juga: Keterlibatan masyarakat Tabalong efektif cegah kebakaran hutan
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018