"Sampai 2030 limbah dan hilangnya makanan per tahun akan mencapai 2,1 miliar ton dengan nilai 1,5 triliun dolar AS," kata laporan tersebut --yang disiarkan pekan ini.
Laporan itu, yang ditulis oleh satu perusahaan Amerika yang bernama Boston Colsulting Group, memperingatkan reaksi global terhadap limba makanan terkotak-kotak dan tidak memadai, dan masalah tersebut berkembang dengan tingkat yang mengkhawatirkan.
"Setiap tahun, 1,6 miliar ton makanan dengan nilai 1,2 triliun dolar AS hilang atau mengalir ke tempat limbah," kata laporan itu.
"Dan masalah ini terus berkembang," katanya.
"Volume makanan yang hilang dan menjadi limbah akan naik 1,9 persen per tahun dari 2015 sampai 2030, sementara nilai dolar akan naik 1,8 prsen," kata laporan tersebut, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu pagi.
Sementara di negara berkembang limbah terjadi selama proses produksi, di negara maju kebanyakan limbah dihasilkan oleh pengecer dan konsumen, yang seringkali membeli terlalu banyak makanan atau makanan yang tidak memenuhi standard estetika, kata laporan itu.
Organisasi Makanan dan Pertanian PBB (FAO) memperkirakan bahwa hilangnya dan limbah makanan berjumlah delapan persen dari buangan gas rumah kaca global.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, PBB telah menetapkan sasaran guna "mengurangi sampai setengah limbah makanan per kapita global, dan mengurangi hilangnya makanan sepanjang rantai produksi dan pasokan sampai 2030".
Namun, laporan itu mengatakan hanya ada sedikit kesempatan untuk memenuhi sasaran tersebut kecuali tindakan mendesak dilakukan oleh pemerintah, perusahaan dan konsumen.
Eko-label, katanya, adalah satu cara untuk mendorong bagi pengurangan limbah makanan dengan mendorong konsumen agar membeli dari perusahaan yang telah berkomitmen untuk mengurangi limbah.
Metode lain, yang meliputi perubahan dalam peraturan pemerintah, juga diperlukan, katanya.
Pewarta: Mnangagwa
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2018