Psikiater dari Asosiasi Psikiatri Indonesia wilayah DKI Jakarta, Dr. Eva Suryani, Sp.KJ mengatakan ada tiga gejala utama seseorang dikatakan depresi, yakni suasana hati yang menurun, energi menghilang dan kehilangan minat pada sesuatu yang biasanya disukai.
Selain itu, ada gejala tambahan seperti sulit berkonsentrasi, kepercayaan diri berkurang, pandangan masa depan suram, ada gagasan untuk bunuh diri, ada rasa bersalah atas suatu kejadian yang tak diinginkan, gangguan selera makan dan gangguan tidur.
Bila seseorang mengalami dua dari tiga gejala utama ditambah dua gejala tambahan selama dua minggu berturut-turut dan ini sedikit menganggu pekerjaan serta kegiatan sosialnya, maka dia bisa dikategorikan depresi ringan.
Untuk depresi ringan, manajemen stres bisa menjadi upaya pertama. Manajemen stres mencakup relaksasi, mengatur nafas, mengelola amarah dan mengendalikan dorongan impulsif.
Di sini, psikiater juga akan menggali penyebab si pasien mengalami stres sekaligus mengidentifikasi apakah kondisinya mengarah pada depresi, jika betul depresi kategorinya apa.
"Untuk yang ringan, curhat sudah membantu. Dia merasa didengarkan," ujar dia di Jakarta, Rabu.
Namun, jika seseorang menderita dua dari tiga gejala utama ditambah empat gejala tambahan dan ini mengganggu beberapa aspek kehidupannya, artinya dia memasuki kategori depresi sedang.
Eva mengatakan, mereka yang derajat depresinya sedang, biasanya juga membutuhkan terapi menggunakan obat di samping terapi non obat.
"Prinsipnya dengan dosis paling rendah. Kalau sedang ke berat perlu kombinasi obat dan non obat, bisa enam bulan hingga setahun (tergantung kondisinya), " kata dia.
Sementara itu, bagi penderita yang merasa dirinya baik-baik saja, tidak membutuhkan obat, padahal mengalami gangguan fungsi dalam hidupnya, maka terapi kognitif perilaku bisa menjadi jalan keluar.
"Terapi ini akan membantu mengubah persepsinya agar lebih baik. Dari yang negatif dan irrasional menjadi positif dan rasional," tutur Eva.
Terakhir, depresi tahap berat yang ditandai dengan adanya tiga gejala utama ditambah empat gejala tambahan dan gejala psikotik seperti waham dan halusinasi atau upaya bunuh diri.
Bila terapi kombinasi obat dan non obat tak kunjung membuat penderita pulih, ada satu terapi yang bisa membantu, yakni terapi kejang listrik (ECT).
Prisipnya adalah memberikan kejut listrik pada otak. Cara ini menghasilkan respon kejang klonik tonik yang mirip kejang pada epilepsi.
"Pada ECT modern, diberikan di bawah anestesi sehingga reaksi kejang tidak terjadi, namun cetusan epileptiform dapat dipantau lewat EEG. ECT diindikasikan untuk episode depresi yang tidak responsif dengan pemberian farmakoterapi," papar Eva.
Baca juga: Kiat kelola stres agar tak menjadi depresi
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018