Mengenal asal-usul soto di Asian Fest

31 Agustus 2018 13:50 WIB
Mengenal asal-usul soto di Asian Fest
Koki pembuat soto Arief Kristyanto saat berdemo di Asian Fest 2018. (ANTARA News/ Sella Panfuarsa Gareta)

Jakarta (ANTARA News) - Sebagai salah satu masakan khas Indonesia, soto adalah menu andalan untuk memperkenalkan kekayaan kuliner nusantara.

Berbagai informasi mengenai kuliner berkuah ini terpampang lengkap di dekat pintu masuk Zona Atung Asian Fest, kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta.

Selain berisi informasi, anjungan bernuansa hijau yang diberi nama 'Unity in Diversoto' ini juga menyajikan beberapa menu soto yang dapat langsung dicicipi dengan harga bervariasi.

Soto, sroto, sauto, tauto atau coto merupakan berbagai macam nama dari makanan yang sama, yakni berbahan utama daging atau ayam yang disuwir, dilengkapi dengan kol, tauge, tomat, serta daun bawang, yang disiram kuah dengan campuran bumbu bervariasi.

"Intinya, soto itu kuahnya ada dua, ada yang bening dan ada yang bersantan. Tapi, inti bahannya relatif sama, ada bawang merah, bawang putih, lengkuas, kunyit, jahe. Lima bumbu itu jadi bumbu utama pembuatan soto," kaya koki Sadadjiwa Trims Indonesia Arief Kristyanto, yang menggelar demo masak soto di anjungan tersebut.

Koki yang telah 20 tahun mengabdi di dunia masak-memasak ini memaparkan, Indonesia memiiliki setidaknya 70 jenis soto yang tersebar diberbagai daerah di Indonesia.

Nama soto di setiap daerah pun berbeda-beda, di antaranya Soto Betawi, Soto Kudus, Soto Tangkar, Soto Lamongan, Soto Banjar dan berbagai aneka soto lainnya.

Bukan sembarang memberi nama, menurut Arief, nama yang disematkan pada soto di setiap daerah itu memiliki asal-usul tersendiri.

Arief menceritakan, awal mula penyebutan Soto Tangkar adalah ketika zaman Belanda, warga Belanda seringkali memotong sapi dan hanya mengambil bagian dagingnya saja. Sementara bagian tangkar atau iganya diberikan kepada masyarakat pribumi, yang kemudian dimasak berkuah.

"Tangkar sendiri artinya iga, jadi pribumi waktu itu memasak iga dan jeroannya menjadi soto. Nah, itulah cikal bakal penyebutan Soto Tangkar," ungkap Arief.

Selain itu, nama Soto Betawi mulai dikenal orang pada 1977, ketika seorang Tionghoa menggunakan nama tersebut untuk menjual menu soto yang dijajakannya. Sebelumnya, soto dengan campuran santan atau susu ini lazim diperdagangkan dengan nama pemilik kedainya.

"Dulu itu namanya misalnya soto haji Arief, atau soto bang siapa. Nah, setelah warga Tionghoa itu menggunakan nama Soto Betawi, jadilah dikenal dengan nama itu sampai sekarang," tutur Arief.

Cerita lain datang dari Soto Kudus, yang aslinya berbahan dasar daging kerbau atau daging ayam, dan bukan menggunakan daging sapi. Hal ini berkaitan pada masa di mana masyarakat Kudus menganut agama dan kepercayaan beragam.

Saat itu, pemerintahan Sunan Kudus mengimbau kepada masyarakat Kudus agar tidak menggunakan sapi sebagai bahan utama pembuatan soto sebagai wujud toleransi beragama di daerah tersebut.

"Karena bagi sebagian agama, sapi itu dianggap binatang yang suci, jadi Sunan Kudus mengimbau masyarakat untuk menggunakan daging kerbau atau ayam," ujarnya.

 

Gastro diplomasi

Jika ingin mengenal sejarah suatu bangsa, kenalilah makanannya. Inilah yang menjadi dasar dibukanya cabang ilmu baru, gastro diplomasi.

Melalui ilmu ini, orang bisa mempelajari sejarah bangsa melalui makanannya untuk tujuan interaksi.

Pengunjung Unity in Diversoto bernama Calvin Budianto menilai anjungan tersebut sangat menarik untuk dikunjungi, baik dengan tujuan mencicipi ataupun mendapatkan informasi tentang kuliner khas Indonesia ini.

“Saya jurusannya Hubungan Internasional, salah satu yang saya suka itu gastro diplomasi. Nah, ini menurut saya salah satu bentuk gastro diplomasi yang menarik,” ujar Calvin.

Menurutnya, anjungan tersebut secara tidak langsung memperkenalkan Indonesia melalui kulinernya.

Pria penggemar Soto Betawi ini menilai, spanduk berbentuk tirai yang berisi informasi tentang soto dalam bahasa Inggris sangat menarik untuk dikunjungi.

“Penjelasannya jelas, mudah dimengerti. desainnya modern. Karena perkembangan desainnya modern. warnanya juga mencolok,” tukasnya.

Calvin berharap, soto juga dapat digemari oleh masyarakat internasional. Karena, seperti halnya Indonesia, soto memiliki ragam jenis cara memasak maupun asal-usulnya.

Namun, soto tetaplah soto, berbahan utama daging ayam dan daging sapi, dengan siraman kuah, yang manpu menggugah siapapun yang menikmatinya.



Digemari warga Asian Games 2018

Irfan, salah seorang pedagang soto di Unity in Diversoto mengatakan, anjungan tersebut mulai ramai pelanggan sejak dibukanya Asian Games 2018. Pelanggan dari dalam dan luar negeri datang untuk makan soto sambil menunggu waktu pertandingan.

"Di sini selain suwiran ayam dan daging, ada pelengkapnya juga, seperti perkedel dan telur," ungkap Irfan.

Pria yang berdagang soto sejak 18 tahun lalu itu mengatakan, dari sekian banyak pelanggannya, mayoritas adalah warga Indonesia, namun terdapat pula pelanggan dari Korea Selatan dan Jepang.

"Banyak orang Korea, ada juga Jepang, mereka penasaran mungkin ya mau coba rasanya soto," tukas Irfan.

Menurut Irfan, kedai soto maupun anjungan mulai ramai pada pukul 12 siang hingga malam.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018