• Beranda
  • Berita
  • Pegiat cela kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya di negerinya

Pegiat cela kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya di negerinya

1 September 2018 09:55 WIB
Pegiat cela kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya di negerinya
Pengungsi Rohingya Myanmar saling berpelukan dan menangis pada pagi Lebaran Idulfitri 1439 H di penampungan sementara komplek SKB Cot Gapu, Bireuen, Provinsi Aceh. Jumat (15/6/2018). Para pengungsi larut dalam kesedihan mengingat keluarga mereka yang meninggal dunia dan rasa terharu merasakan kenyamanan selama beribadah Ramadan dan ber Idul Fitri di Aceh. (ANTARA /Rahmad)
Kent, Inggris, (ANTARA News) - Kekejaman yang ditujukan kepada etnik minoritas Rohingya di Myanmar serupa dengan tindakan yang dilakukan oleh Nazi Jerman, demikian pendapat seorang pegiat hak asasi manusia terkenal Buddha.

Ketika berbicara dengan Kantor Berita Turki, Anadolu, di Kent, Inggris, Maung Zarni --Koordinator Koalisi Rohingya Bebas-- mengatakan masyarakat internasional mesti bertindak terhadap negara asalnya.

Pernyataan Zarni dikeluarkan setelah PBB menyiarkan laporan awal pekan ini yang mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan termasuk terhadap bayi dan anak kecil, pemukulan secara brutal dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan Pemerintah Myanmar.

Di dalam laporannya, para penyelidik PBB mengatakan pelanggaran semacam itu merupakan kejahatan terhadap manusia, demikian laporan UNA-OIC --sebagaimana dipantau Antara di Jakarta, Sabtu pagi. "Kita menghadapi situasi saat satu negara anggota PBB yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dan mitranya --para jenderal militer Burma-- didapati oleh badan paling tinggi dan (paling) terpercaya lembaga hak asasi manusia di dunia seperti perbuatan Nazi Jerman," kata Zarni. "Pemusnahan suku adalah apa yang dilakukan kaum Nazi. Pemusnahan suku adalah apa yang terjadi di Rwanda, di Kamboja, atau terhadap Muslim Bosnia."

Zarni menggaris-bawahi bahwa ketika satu kasus diputuskan sebagai "pemusnahan suku", tanggung-jawab untuk menanganinya terletak pada semua negara anggota.

"Kewajiban moral dan politik tertinggi berada pada Dewan Keamanan (PBB)," ia menambahkan.

Ia menyatakan pembentukan satu mahkamah pidana internasional seperti yang dilakukan untuk Rwanda atau Bosnia takkan cukup; etnik minoritas Rohingya memerlukan "wilayah yang terlindungi tempat mereka dapat hidup secara aman dan secara normal, layaknya manusia".

Misi Pencari-Fakta Independen Internasional PBB mengenai Myanmar telah menyerukan agar para pejabat senior militer Myanmar --termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Senior Min Aung Hlaing-- diadili di Mahkamah Pidana Internasional karena melakukan kejahatan terhadap Muslim Rohingya.

"Harapan saya, di dunia yang ideal, (ialah) Dewan Keamanan PBB akan mensahkan suatu bentuk campur-tangan sehingga kekejaman itu dapat dihentikan dan orang Rohingya dapat diberikan kembali tanah mereka dan diperkenankan hidup secara bermartabat dan aman," kata Zarni.

Zarni menyatakan sekarang ada banyak orang Rohingya yang tinggal di luar Myanmar dibandingkan yang masih berada di negeri tersebut setelah beberapa dasawarsa kekerasan tapi terutama serangan serangan besar dilancarkan terhadap mereka pada Agustus tahun lalu.

Zarni menggaris-bawahi bahwa masyarakat internasional mesti menjatuhkan sanksi atas militer dan Pemerintah Myanmar, dan menyatakan kebijakan pengucilan terhadap Rohingya harus diakhiri.

Muslim Rohingya "dibersihkan", dan sasaran akhir dalam pemberlakuan sanksi terhadap Myanmar mesti "secara mendasar mengubah kebijakan Pemerintah Burma (Myanmar) dan mengubah tatanan yang telah dikerahkan oleh militer Burma dan pembuat pendapat masyarakat untuk menindas dan menghukum serta pada dasarnya menghapuskan penduduk ini", kata Zarni.

Sasaran utama dari banyak sanksi mesti memberi Rohingya "perlindungan internasional" dan menciptakan "wilayah otonomi tempat militer Burma takkan diperkenankan melanjutkan kekejaman", katanya.

Zarni mengatakan Myanmar memiliki empat pilar utama: militer, ajaran Buddha, partai politik dan masyarakat.

"Semua keempat lembaga utama ini secara tegas telah menolak Rohingya. Kami memberitahu mereka bahwa mereka bukan milik Burma; kami tak menginginkan mereka di Burma," katanya.

 

Pewarta: Antara
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2018