Erdogan: Turki segera terima rudal S-400 Rusia

2 September 2018 16:33 WIB
Erdogan: Turki segera terima rudal S-400 Rusia
Presiden Turki Tayyip Erdogan meninggalkan kursinya untuk memberikan pidato kepada anggota parlemen dari Partai AK yang berkuasa (AKP) di parlemen Turki di Ankara, Turki, Sabtu (7/7/2018). (REUTERS/Umit Bektas)
Istanbul (ANTARA News) -  Presiden Recep Tayyip Erdogan menegaskan Turki segera menerima sistem peluru kendali antipesawat jarak jauh tercanggih Rusia, S-400, sesuai dengan kesepakatan kedua negara.

"Kita tidak menyesali keputusan kita," kata Erdogan saat berbicara dalam satu acara di Provinsi Balikesir seperti dilaporkan kantor berita Anadolu dan dipantau Antara dari Bogor, Minggu pagi.

Turki membutuhkan sistem rudal S-400 Rusia itu untuk mengejar kepentingan nasionalnya, dan memperjuangkan pencapaian tujuan-tujuannya di tengah upaya sejumlah pihak yang mencoba membentuk Turki dan kawasan di mana Turki berada menurut agenda mereka, katanya.

Desember lalu, Turki mengumumkan tercapainya kesepakatannya dengan Rusia tentang pembelian dua sistem rudal S-400 hingga awal 2020. April 2018, pemerintah kedua negara menyepakati perihal penyerahan awal sistem rudal tercanggih buatan Moskow itu.

Senat Amerika Serikat keberatan dengan kesepakatan Turki-Rusia tentang sistem rudal S-400 yang dapat membawa tiga jenis rudal yang mampu merontokkan target, termasuk rudal balistik dan jelajah, itu.

Keberatan Senat AS yang dilatarbelakangi perihal pembelian S-400 Rusia dan penahanan seorang pastur berkewarganegaraan AS oleh Ankara itu ditunjukkan dengan diloloskannya undang-undang berisi pelarangan penjualan jet tempur F-35 kepada Turki pada Juni lalu.

Presiden Erdogan mengatakan militer dan ekonomi negaranya menjadi target AS menyusul penahanan pastur Andrew Craig Brunson yang didakwa Turki terlibat dalam kegiatan mata-mata untuk kepentingan kelompok PKK dan FETO.

Di mata Turki dan AS, Partai Buruh Kurdistan (PKK) adalah organisasi teroris namun Ankara dan Washington berbeda pandangan tentang FETO.

Bagi Turki, FETO atau gerakan Fethullah Gulen merupakan organisasi teroris yang berlibat dalam upaya kudeta yang gagal terhadap kepemimpinan Erdogan pada Juli 2016 sedangkan Pemerintah AS justru mengizinkan Fetullah Gulen menetap di negara itu.

Menyusul tahanan rumah yang diberlakukan terhadap Brunson yang didakwa terlibat dalam kasus terorisme di Turki, hubungan Ankara-Washington terganggu terlebih lagi setelah AS menjatuhkan sanksi atas sejumlah produk ekspor penting Turki.

Presiden Erdogan mengatakan, seperti negara-negara lain, Turki juga memiliki hak yang sah untuk memerangi terorisme.

"Memerangi terorisme dipandang sah bagi negara-negara lain namun tidak demikian halnya saat itu terjadi pada Turki. Mereka bertingkah berbeda," kata pemimpin Turki kelahiran Istanbul, 26 Februari 1954, ini.

Presiden Erdogan mengatakan Turki tak pantas menerima serangan teror dari dalam dan luar negeri maupun kemunafikan di panggung dunia dan tak juga pantas mendapat gambaran seolah-olah Turki tengah menghadapi krisis ekonomi.

"Turki senantiasa loyal pada janji-janjinya dalam kesepakatan-kesepakatan internasional. Namun tetap saja kita selalu menghadapi kemunafikan," katanya.

Di tengah kondisi ini, Turki membutuhkan kemitraan dengan bangsa-bangsa lain di samping negara-negara Eropa dan AS.

"Kita tahu betul kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan mereka yang suka memaksa kita memiliki hubungan unilateral ini secara rahasia maupun terang-terangan di seluruh dunia. Ketidakstabilan dalam nilai tukar mata uang itu adalah operasi untuk menentang kita."

Namun, penggunaan senjata ekonomi untuk mencapai tujuan yang tengah mereka lakukan melalui organisasi-organisasi teroris maupun para pengkhianat di dalam negeri Turki tidak akan berhasil, kata Presiden Erdogan.

Editor: Rahmad Nasution/M. Anthoni

Pewarta: Antara
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2018