Menahan lonjakan harga beras dengan jurus impor

3 September 2018 14:23 WIB
Menahan lonjakan harga beras dengan jurus impor
Arsip. Pekerja menurunkan beras impor asal Vietnam dari kapal di Pelabuhan Indah Kiat, Merak, Cilegon, Banten. (ANTARA/Asep Fathulrahman)

Jangan sampai petani kurang lagi bergairah menamam padi dan mengalifungsikan lahan pertanian menjadi lahan untuk kebutuhan lainnya..

Jakarta (ANTARA News) - Dalam sebulan terakhir harga beras mengalami kenaikan di hampir seluruh wilayah Tanah Air.

Seperti di Lampung kenaikan harga beras berkisar Rp500 per kilogramnya. Harga beras kualitas sedang berkisar Rp10.000-Rp12.000 per kg, beras asalan berkisar Rp8.500-Rp9.500 per kg dan premium di atas Rp13.000 per kilogram.

Sementara di Sukabumi, Jawa Barat, harga beras untuk jenis Ciherang dari Rp11 ribu menjadi Rp12 ribu/kilogram, kemudian jenis IR 64 kualitas satu Jampang mengalami penaikan harga Rp1.500 per kg dari Rp10 ribu menjadi Rp11.500 per kg dan untuk jenis IR 64 kualitas dua Jampang saat ini dijual dengan harga Rp8.800 per kg yang awalnya Rp8.400 per kg.

Sedangkan di Sulawesi Utara harga beras naik rata-rata menjadi Rp10 ribu hingga Rp12.500 per kg.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), per Senin (27/8), tercatat harga beras kualitas medium I sebesar Rp11.700 per kilogram dan beras kualitas medium II sebesar Rp11.600 per kilogram.

Karena beras merupakan salah satu kebutuhan pokok tentu saja kenaikan harga tersebut memunculkan keresahan di masyarakat, terutama golongan menengah ke bawah.

Kenaikan harga beras selalu membawa dampak pada terkereknya harga-harga kebutuhan pokok yang lain sehingga dikhawatirkan mendorong terjadinya inflasi.

Dalam perdagangan selalu berlaku hukum ekonomi jika permintaan terhadap suatu barang lebih tinggi dari pasokan barang tersebut maka harga akan naik.

Berkaca dari hukum ekonomi tersebut, kenaikan harga beras yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir bisa jadi disebabkan menurunnya pasokan komoditas pangan tersebut di pasaran.

Untuk memenuhi pasokan beras di pasaran tentu saja berkaitan dengan produksi di dalam negeri. Dan rendahnya pasokan beras di pasaran bisa jadi merupakan dampak rendahnya produksi beras di dalam negeri.

Bagaimana jika memang produksi beras nasional rendah dan tidak mampu memenuhi kebutuhan sehingga mampu menahan gejolak harga di pasar?

Pemerintah mau tidak mau dituntut untuk meningkatkan pasokan beras di pasar agar harga tidak semakin melonjak. Dan tentu saja juga menggenjot produksi beras di dalam negeri.

Salah satu jurus atau kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kurangnya pasokan beras dalam negeri yaitu dengan mendatangkan dari luar atau mengimpor.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang ditemui usai Rapat Koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta, Senin (27/8) , menjelaskan upaya menstabilkan harga sesuai harga eceran tertinggi (HET) beras medium menjadi pertimbangan pemerintah memutuskan Indonesia harus kembali impor beras.

Tahun ini Kementerian Perdagangan mengeluarkan izin impor beras sebanyak 2 juta ton yang akan dilakukan oleh Perum Bulog.

Ada pun impor beras sebanyak dua juta ton oleh Perum Bulog dilakukan secara bertahap, di antaranya sebanyak 500 ribu ton beras pada Februari 2018 dan 500 ribu ton pada Mei 2018. Sementara itu, sisa kuota impor 1 juta ton sebelum akhir September 2018.

Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar Utomo mengatakan impor beras yang sudah terealisasi baru 1,84 juta ton dari izin impor yang diajukan pada 2018 sebesar dua juta ton.

Selain memperkuat cadangan beras dari impor, Bulog juga melakukan serap gabah sekitar 5.000 ton per hari. Namun, Bulog berupaya untuk meningkatkan jumlah serapan menjadi 10.000 ton per hari mengingat masa panen yang bervariasi.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan izin impor beras yang diberikan kepada Perum Bulog bertujuan untuk stabilisasi harga dan menjaga inflasi tetap di level 3,5 persen.

"Kenapa harus impor? Karena bicara suplai dan `demand`. Suplainya berkurang, maka untuk mengisi itu, juga dilihat kecenderungan harganya dan ketersediaan stok berkurang, makanya kita isi," katanya.

Namun, impor beras pada tahun ini, menurut Kementerian Perdagangan, lebih rendah dibanding tahun 2014 yang mencapai 2,5 juta ton, kemudian pada 2015-2016 impor beras tercatat sekitar 1,5 juta ton.

Enggartiasto menegaskan pemerintah tidak akan membiarkan harga beras naik di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium sebesar Rp9.450 per kilogram.


Tingkatkan Penyerapan

Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pasokan beras dalam negeri dengan mengandalkan dari impor dinilai kurang tepat karena akan memukul petani padi.

Anggota Komisi IV DPR Endang Srikarti Handayani mengharapkan pemerintah jangan lagi melakukan kebijakan impor beras, namun dapat meningkatkan serta menyerap produksi beras nasional yang dihasilkan petani.

"Saya tidak setuju impor. Saya setuju bila hasil pertanian meningkat, pemerintah harus beri subsidi kepada petani," kata Endang

Politisi Golkar itu berpendapat bahwa untuk meningkatkan produksi beras, pemerintah harus menyubsidi pertanian yang bisa dinikmati petani secara langsung.

Dengan memberikan subsidi dan menyerukan kepada generasi muda untuk membangun desa dalam bertani, menurut dia, maka ke depannya tidak akan ada lagi impor beras.

Sementara itu pengamat pertanian Khudori melihat persoalan impor tidak hanya mengacu pada produksi beras, karena ada masalah lain, yaitu tidak optimalnya penyerapan Bulog karena masih rendahnya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan pemerintah.

"Problem utama terkait impor beras adalah kemampuan Bulog menyerap beras atau gabah hasil produksi dalam negeri," ujarnya.

Senada dengan itu Ketua Bidang Perdagangan Kadin Provinsi Sulteng Achrul Udaya meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan untuk mengimpor beras karena hal itu justru akan merugikan petani.

Menurut dia, stok beras dikuasai Perum Bulog hingga saat ini cukup memadai dan di beberapa daerah, termasuk di Pulau Sulawesi seperti Sulsel, Sulbar dan Sulteng sedang berlangsung panen.

Jika pemerintah tetap mengimpor beras di tengah-tengah petani sedang panen raya di beberapa daerah di Tanah Air, bisa-bisa harga gabah/beras di tingkat petani anjlok karena beras impor masuk.

Kalau harga gabah/beras di tingkat petani sampai anjlok, menurut dia, petani yang menderita kerugian.

"Seharusnya, pemerintah melindungi petani agar tidak merugi dan mereka tetap bergairah menanam padi. Jangan sampai petani kurang lagi bergairah menamam padi dan mengalifungsikan lahan pertanian menjadi lahan untuk kebutuhan lainnya," katanya.

Jika hal itu terjadi, maka produksi beras dalam negeri terancam akan turun. Dan kalau produksi petani menurun, maka mau tidak mau, negeri ini akan tergantung lagi pada impor beras.

Baca juga: Pekerjaan besar mengevaluasi HPP gabah dan beras
Baca juga: Asa kestabilan harga dari manajemen tanam padi

 

Pewarta: Subagyo
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018