Ketua Umum idEA Ignatius Untung, dalam keterangan yang diterima, Senin, menjelaskan peraturan mengenai data center saat ini terkesan maju mundur.
Dia mengungkapkan semula pemerintah meminta lokasi pusat data harus berada di Indonesia, namun belakangan pemerintah menyatakan pelaku digital tak perlu membangun data center di Indonesia dengan cukup membuka "access point".
Menurut dia, situasi ini membuat para pelaku bisnis digital bingung.
“Ini yang benar yang mana. Biarpun sanksinya apa belum jelas, masih abu-abu. Kalau abu-abu, percuma juga kita bikin data center,’ kata Untung di Jakarta.
Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).
Di antara poin yang menjadi perdebatan adalah kewajiban penempatan pusat data di Indonesia. Semula, revisi peraturan tersebut akan terbit Oktober 2017, namun terus mundur.
Saat ini, revisi PP 82/2012 memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pelaksana Tugas Kepala Seksi Kelembagaan Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika, Yudhistira Nugraha sebelumnya menjelaskan hal yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut adalah kewajiban penempatan pusat data dan data "recovery center" di wilayah Indonesia.
"Aturannya sedang direvisi menjadi kewajiban penempatan data elektronik strategis pada data center dan data recovery center di wilayah Indonesia," ujar dia di Jakarta beberapa waktu lalu.
Mengutip draft aturan terakhir, Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) dalam tanggapan resmi yang dirilis 7 Mei 2018 menyebutkan data elektronik terbagi menjadi tiga kategori.
Rinciannya, data elektronik strategis, data elektronik berisiko tinggi, dan data elektronik berisiko rendah.
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018