Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi II DPR RI Henry Yosodiningrat mengatakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tidak boleh melanggar UU, khususnya terkait larangan mantan napi koruptor ikut pemilihan legislatif pada Pemilu 2019.Kalau sudah jadi keputusan MK itu bagi kami ya kami ikuti apa yang menjadi keputusan MK. Jadi sudah selesai DPR dan pemerintah."
"Yang tidak diperkenankan adalah bandar narkoba dan kejahatan seksual anak," kata Hendry dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk "Polemik PKPU (Caleg Koruptor dan Calon DPD)" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Di Pasal 240 ayat 1 huruf (g) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Dia mengakui pemerintah, DPR, partai politik dan pengawas pemilu masih berbeda pendapat dengan KPU terkait PKPU Nomor 20 tahun 2018 yang melarang mantan napi koruptor ikut pemilihan legislatif pada Pemilu 2019.
Menurut dia, selain undang-undang, penolakan PKPU mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memperbolehkan mantan Napi koruptor boleh maju sebagai Caleg di Pemilu 2019.
"Kalau sudah jadi keputusan MK itu bagi kami ya kami ikuti apa yang menjadi keputusan MK. Jadi sudah selesai DPR dan pemerintah," ujarnya.
Selain itu menurut dia dalam rapat konsultasi Komisi II dengan Bawaslu dan pemerintah beberapa waktu lalu sudah diputuskan bahwa pemerintah, DPR dan Bawaslu berpendapat, PKPU harus sesuai dengan undang-undang yang ada.
Selain itu, bakal calon anggota legislarif (bacaleg) dari PAN, Wa Ode Nurhayati menilai KPU sesungguhnya sangat paham dan mengerti akan terjadi polemik apabila melakukan larangan mantan terpidana korupsi menjadi caleg.
Dia mengatakan KPU sudah diperingatkan DPR dan pemerintah untuk tidak mengatur pembatasan hak pada PKPU, karena pembatasan hak hanya boleh dimuat dalam undang-undang.
"Dalam negara demokrasi harus ada semangat konstitusionalisme agar demokrasi tidak membahayakan banyak orang," katanya.
Dia juga meyakini bahwa KPU memahami bahwa Putusan MK secara tegas memperbolehkan seluruh mantan jenis terpidana
"KPU juga tahu karena putusan MK (Mahkamah Konstitusi, red) itu tegas membolehkan seluruh mantan jenis terpidana," ujarnya dilokasi yang sama.
Dia menilai dalam polemik tersebut, KPU tidak memiliki semangat konstitusionalisme dalam menerbitkan PKPU dan menjadi ancaman besar bagi demokrasi serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Menurut dia, KPU memilih "jalan buntu" atas polemik PKPU dengan menunda putusan Bawaslu yang memperbolehkan mantan napi koruptor menjadi caleg karena langkah penundaan itu sama saja dengan menolak sebenarnya.
Dia menilai Bawaslu seharusnya memohonkan ke Mahkamah Agung (MA) agar putusannya dapat memiliki kekuatan eksekusi selayaknya putusan pengadilan dan MA harus segera memutuskan sebelum Daftar Calon Tetap (DCT) ditetapkan KPU.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018