"Kita benchmark dari beberapa aspek, tidak hanya dari adopsi, dari dukungan pemerintah, kesiapan dari end user, kesiapan dari provider, dan lainnya," ujar Associate Consultant of IDC Indonesia, Muhammad Kamil Yunus, disela acara Virtus Showcase 2018, di Jakarta, Rabu.
Hal yang menurut Kamil membuat Indonesia berada di peringkat terakhir sebelum India adalah belum adanya regulasi mengenai IoT pada 2017.
"Pemerintah baru bulan lalu mengeluarkan draft untuk IoT, sedangkan negara lain sudah memiliki regulasi mengenai IoT," kata Kamil.
Tidak hanya itu, Kami melihat bahwa end user Indonesia belum sepenuhnya siap untuk mengadopsi IoT, dan masih menggunakan teknologi legacy.
Selain itu, belum terbentuknya infrastruktur jaringan 5G, yang merupakan penyokong IoT, juga menjadi persoalan lain.
"Maka dari, IoT belum bisa diterapkan dengan baik. Di Indonesia 5G paling cepat 2020, jadi kita prediksi konsumer itu 3-5 tahun (setelah implementasi 5G) baru bisa dimanfaatkan secara nasional," ujar Kamil.
Untuk tren, Kami memprediksi, pemanfaatan IoT bagi end user akan lebih banyak pada area solusi rumah dan keamanan.
Sementara itu, bagi industri, sebanyak 30 persen dari industri yang sudah memanfaatkan IoT telah mampu memangkas biaya operasional.
Sayangnya, Kamil mengatakan bahwa hanya 20 persen perusahaan di Indonesia yang telah mengadopsi IoT. Tantangannya adalah, kebanyakan perusahaan tidak memiliki budget khusus untuk mengikuti roadmap IoT.
Baca juga: Kemenkominfo terus kembangkan konektivitas ekonomi digital IoT
Baca juga: Minat Indonesia terapkan IoT tinggi
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018