• Beranda
  • Berita
  • Berbeda dari novel, ada karakter baru di film "Belok Kanan Barcelona"

Berbeda dari novel, ada karakter baru di film "Belok Kanan Barcelona"

9 September 2018 17:29 WIB
Berbeda dari novel, ada karakter baru di film "Belok Kanan Barcelona"
(Kiri ke kanan): Penulis Ninit Yunita, Anggika Bolsterli, Morgan Oey, Ananta Rispo dan Adhitya Mulya dalam acara bertajuk "Ngobrolin "Belok Kanan Barcelona" di kawasan Depok, Minggu (9/9/2018) . (ANTARA News/Lia Wanadriani Santosa)
Depok (ANTARA News) - "Belok Kanan, Barcelona", novel kolaborasi penulis Adhitya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya dan Iman Hidajat tak lama lagi akan hadir ke tengah masyarakat tanah air dalam versi film. 

Tak jauh berbeda dari novelnya, film besutan sutradara Guntur Soeharjanto itu tetap menyuguhkan kisah empat insan yang bersahabat sejak kecil namun perlahan saling memendam asmara saat usia remaja. 

Masalah muncul saat salah satu dari mereka berencana menikah dengan warga Spanyol di Barcelona. Dari berbagai penjuru, tiga orang lainnya bergerak menuju Barcelona, membawa misinya masing-masing, yakni mencari jawaban untuk pertanyaan yang belum pernah tersampaikan selama ini. Lalu, di mana bedanya? 

Adhitya mengatakan perbedaan antara novel dan film terletak pada penambahan jumlah karakter pada film. 

"Dari penulisan ke skenario saya yang tulis. Kalau di novel tinggal tulis pemikiran, tetapi ketika menulis skenario, harus ada lawannya. Makanya saya ciptakan karakter baru (Hasan), sebagai asisten Francis. Supaya dialognya berjalan," tutur Adit dalam bincang-bincang di salah satu mal kawasan Depok, Minggu. 

Selain karakter, Ninit mengungkapkan pada film salah satu tokoh, yakni Retno memiliki profesi yang berbeda dari novel. 

"Biar lebih hidup, tokoh Retno diganti profesinya. Kalau di novel dia kerja Kedutaan Besar. Tetapi secara karakter sama, dia sosok yang tenang, baik hati ke semua orang," tutur dia dalam kesempatan yang sama. 

Ada sederet aktor terlibat dalam film ini antara lain Morgan Oey, Deva Manhenra, Anggika Bolsterli, Mikha Tambayong, Ananta Rispo, Cut Mini, Pierre Gruno dan Ben Kasyafani. 

Seperti dalam novel, mereka harus menjalani syuting di empat kota dari empat negara berbeda, yakni Barcelona, Copenhagen, Maroko dan Budapest. Syuting dilakukan dalam waktu 2-3 minggu lamanya. Adakah kisah menarik selama syuting? 

"Aku dapat syuting di keempat negaranya. Terakhir, aku sama Deva ke Maroko, Gurun Sahara. Di hari syuting ada badai pasir. Ada take yang diambil saat badai pasir," tutur Anggika yang memerankan karakter Farah. 

Baca juga: Bincang-bincang bersama penulis Adhitya Mulya

Sementara itu, Morgan mengaku senang karena bisa berkunjung ke dua kota yang belum pernah dia datangi, Copenhagen dan Barcelona. Kebahagiaannya semakin bertambah kala berkesempatan merayakan hari ulang tahunnya di Kopenhagen. 

"Gue kebagian syuting di Copenghagen dan Barcelona. Seru. Dua kota ini pertama kali gue datengin. Tiga hari di Copenhagen, dua hari di Barcelona. Di Copenhagen sempat merayakan ulangtahun ke-28," ujar Morgan yang berperan sebagai Francis. 

Di sisi lain, Morgan yang juga harus berperan sebagai Francis saat masih duduk di bangku SMA--karena latar cerita juga diambil saat masa SMA-- juga tertantang bisa memerankan sosok Francis yang naif. 

"Memerankan karakter anak SMA yang rata-rata masih naif. Dari segi gestur juga. Anak muda senaif itu. Waktu itu badan masih besar, rambut sudah panjang harus dipotong, berponi kayak waktu masih di (boy group) SMASH," tutur dia. 

Dalam kesempatan itu, Iman yang ternyata pencipta karakter Francis mengungkapkan bahwa pada dasarnya karakter karyanya itu merupakan sosok yang kesepian. 

"Karakter Francis itu pada dasarnya orang yang lonely. Jadi pianis itu harus latihan piano 7-8 jam seharu. Hanya berkutat di ruang latihan dan musiknya. Francis itu karakternya kompleks," kata dia. 

Terlepas dari seperti apa kisah dalam film, baik Ninit, Adithya maupun Iman tak pernah menyangka novel kolaborasi pertama mereka itu akan dibuat versi filmnya. 

"Waktu nulis draft tahun 2006, saya ingat pernah bercanda kalau novel ini enggak bisa jadi film. Ternyata 11 tahun kemudian saya sadar saya salah," ujar Adit seraya tertawa. 

Di sisi lain, Ninit mengatakan tawaran agar memiflmkan novel karya empat orang ini sudah ada di masa lalu, namun terbentur masalah budget. 

"Dulu sudah ada approach agar menjadi film, tetapi karena lokasinya banyak banget ngaruh ke budget.  Beberapa menawarkan modifikasi negara, lebih sedikit atau Indonesia saja. Tetapi kami tetap ingin apa adanya," kata Ninit. 
 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018