Mengenal Nyapar, alat pemadam karhutla digital

10 September 2018 16:31 WIB
Mengenal Nyapar, alat pemadam karhutla digital
Uji coba Nyapar, alat pemadam karhutla digital ciptaan Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat, Sabtu (8/9/2018) (Desi Purnamawati)

Kelebihan lainnya, Nyapar cukup dioperasikan satu operator

Jakarta  (ANTARA News) - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah di Indonesia terutama yang memiliki gambut kerap terjadi, terutama saat musim kemarau.

Pada periode Januari hingga 3 September 2018, satelit NOAA mencatat terdapat sekitar 3.042 titik panas di Indonesia, di mana ada sekitar 15.601,13 hektare kawasan gambut yang terbakar.

Di Kalimantan Barat, pada Agustus 2018 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memantau sebanyak 1.061 hotspot (titik panas).

Sebanyak 1.061 titik panas tersebut, terpantau oleh satelit Modis, yang terdiri dari kategori sedang 592 titik panas, dan kategori tinggi sebanyak 469 titik panas.

Kebakaran lahan tersebut biasanya karena pembukaan lahan dengan cara dibakar, ditambah tingginya suhu udara akibat musim kemarau sehingga semakin mudah memicu karhutla.

Berbagai upaya dilakukan untuk memadamkan karhutla mulai dari pengerahan masyarakat peduli api, Manggala Agni untuk melakukan pemadaman dari darat serta water boombing hingga hujan buatan.

Sulitnya memadamkan kebakaran di gambut karena meski api di permukaan tanah sudah padam, tapi bara di dalam tanah terus membakar gambut sehingga masih terus mengeluarkan asap. Asap karhutla ini yang kerap muncul menjadi kabut asap dan mengganggu aktivitas masyarakat serta menyebabkan penyakit pada saluran pernafasan.

Dikhawatirkan, saat cuaca panas akan memicu munculnya kembali api sehingga selain merusak lahan juga menimbulkan polusi asap.

Selain kedalaman gambut yang cukup tebal sehingga sulit padam, sumber air di lahan gambut juga sulit ditemukan.


Pemadam Digital
Untuk memudahkan masyarakat melakukan pemadaman mandiri saat terjadi karhutla, Universitas Tanjungpura (Untan) membuat alat pemadam karhutla dengan sistem digital yang diberi nama "Nyapar".

Dekan Fakultas Kehutanan Untan, Gusti Hardiansyah mengatakan butuh dua tahun untuk meriset dan menciptakan alat tersebut.

Menurut dia, dibandingkan alat pemadaman lain yang manual, Nyapar merupakan alat digital yang dapat dikontrol dan didesain portabel sehingga lebih memudahkan untuk memadamkan titik kebakaran.

Alat tersebut menghabiskan biaya sebesar Rp20 juta per unit lengkap dengan selang, tiga nozzle yang masing-masing punya fungsi berbeda termasuk untuk memadamkan kebakaran di dalam gambut serta mesin pendorong air. Jika biayanya ditambah, Nyapar bisa mencari sendiri titik panas.

Nyapar dapat menyemprotkan air dengan jangkauan 30 hingga 50 meter dan semakin besar kekuatan mesin pendorong maka jangkauannya bisa semakin jauh.

Mesin pendorong juga portable sehingga bisa digendong di punggung seperti ransel dan bisa dibawa dengan motor sehingga memudahkan untuk menjangkau wilayah yang sulit diakses kendaraan roda empat.

"Kelebihan lainnya, Nyapar cukup dioperasikan satu operator," kata Gusti.

Gusti mengatakan, Nyapar telah dipatenkan oleh Untan dan siap digunakan. Sebagai tahap awal enam unit Nyapar akan diserahkan ke desa yang menjadi target kerja sama Untan dan Indonesia Climate Change Strust Fund (ICCTF)/Bappenas.

Untuk memastikan Nyapar bisa digunakan, maka akan dibuat juga 10 sumur bor sebagai sumber air.

Kepala Desa Mandor, salah satu desa yang menjadi target kerja sama dalam perlindungan dan pengelolaan gambut berbasis masyarakat di Kalimantan Barat, Muria Yani Sadikun mengatakan, selama ini jika terjadi kebakaran gambut di desa mereka, maka pemadaman dilakukan secara manual.

"Kendala kita kebanyakan kebakaran yang terjadi jauh dari sumber air, jadi kita hanya bermodalkan tangki semprot atau ranting pohon yang dipukul-pukul untuk mematikan api," kata Muria Yani Sadikun.

Namun patut disyukuri masyarakat di desanya cukup kompak dan semua terlibat dalam upaya pemadaman. Ibu-ibu juga turut serta mengangkat air untuk memadamkan karhutla.

Libatkan Masyarakat

Upaya mencegah karhutla bukan hanya menjadi tugas pemerintah semata tapi juga seluruh masyarakat dengan ikut menjaga lingkungan dan lahan.

Masyarakat menjadi garda terdepan untuk melestarikan lingkungan, selain itu juga mereka bisa mengelola dan memanfaatkan hasil hutan dan gambut.

ICCTF sebagai lembaga pengumpulan dana donor untuk perubahan iklim di Indonesia, menginisiasi program perlindungan dan pengelolaan gambut berbasis masyarakat di Kalbar.

Sebanyak 11 desa di tiga kabupaten yaitu Mempawah, Kubu Raya dan Landak dilibatkan dalam program tersebut. Selain itu masyarakat juga dilatih oleh Untan untuk membudidayakan madu kelulut sehingga menambah pendapatan mereka.

Dengan meningkatnya kesejahteraan, maka masyarakat tidak lagi berpikir untuk membakar hutan sehingga lingkungan juga tetap terjaga dan diharapkan kebakaran gambut juga tidak terjadi lagi.

Dalam konteks mitigasi dan pengelolaan gambut di Kalimantan, ICCTF menjalankan restorasi gambut dengan prinsip 3R. Yaitu rewetting atau pembasahan kembali area gambut melalui pembangunan sekat kanal dan sumur bor. Hingga saat ini telah terbangun 180 sekat kanal, 24 embung dan 640 sumur bor.

Prinsip kedua adalah, revegetasi yaitu penanaman kembali vegetasi yang ramah gambut seperti jelutung, karet, petai dan kopi dengan luas kawasan mencapai 1.291 hektare.

Serta revitalisasi mata pencaharian masyarakat melalui agroforestry termasuk pengembangan kolam "bio-floc" untuk budidaya perikanan, pengolahan air gambut menjadi air minum, pengolahan hasil hutan bukan kayu dan kawasan ekowisata.

Baca juga: BNPB: upaya pemadaman Karhutla menuai hasil signifikan
 

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018