Jakarta (ANTARA News) - Otoritas Jasa Keuangan meyakini industri keuangan Indonesia masih mampu memitigasi dampak negatif dari risiko depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah mencapai delapan persen sejak awal Januari hingga awal September 2018 (year to date/ytd).Di tengah volatilitas pasar keuangan, profil risiko di indutsri keuangan masih manageable (dapat dikendalikan). CAR perbankan juga masih kuat
Indikator kesehatan industri keuangan khususnya perbankan masih terjaga, namun regulator tetap waspada terhadap meningkatnya risiko ekonomi eksternal, kata Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin.
Industri keuangan merupakan salah satu penyumbang aset terbesar di sistem keuangan Indonesia.
Rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) perbankan masih terkendali di 2,73 persen (gross).
Kemudian, dana pihak ketiga (DPK) bertumbuh 6,8 persen (year on year/yoy) dan pertumbuhan kredit mencapai 11 persen (yoy).
Kecukupan modal bank (capital adequacy ratio/CAR) perbankan, kata Sekar, per awal September 2018 sebesar 22 persen.
"Di tengah volatilitas pasar keuangan, profil risiko di indutsri keuangan masih manageble (dapat dikendalikan). CAR perbankan juga masih kuat," kata Sekar.
Sekar mengatakan dampak dari pengetatan likuiditas perekonomian global sejauh ini berhasil diatasi oleh pemerintah, Bank Indonesia dan OJK. Belum ada tendensi pengetatan likuiditas di pasar domestik. OJK mengapresiasi BI yang melakukan intervensi pasar secara "agresif" dalam beberapa waktu terakhir.
"Kami apresiasi pemerintah dan BI yang rajin intervensi pasar," ujar dia.
OJK berjanji tidak akan berdiam diri dan tidak hanya menjadi penonton untuk memperbaiki perekonomian.
Sekar mengatakan OJK akan membantu pemerintah dan BI untuk menurunkan defisit transaksi berjalan.
Neraca transaksi berjalan merupakan parameter yang menggambarkan aliran masuk dan keluar devisa melalui perdagangan barang dan jasa internasional.
Sekar mengatakan langkah OJK untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan adalah dengan memberikan insentif makroprudensial kepada perbankan yang berkontribusi menumbuhkan industri berorientasi ekspor.
Kemudian, OJK juga mendorong Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan fasilitas pembiayaan ekspor.
"Dalam kebijakan kami, Kami berikan insentif bagi perbankan, misalnya melalui relaksasi ATMR (aset tertimbang menurut risiko) untuk yang membantu meningkatkan ekspor domestik. Kami juga dorong LPEI untuk penyediaan fasilitas ekspor," ujar dia.
BI dan pemerintah menginginkan defisit transaksi berjalan pada akhir 2018 bisa turun ke sekitar 2,5 persen PDB, dibanding akhir kuartal II 2018 yang sebesar 3,04 persen PDB.
Untuk menjaga nilai tukat rupiah, kata Sekar, OJK juga meningkatkan pengawasan terhadap transaksi valas di perbankan agar pembelian valas sesuai dokumen bukti kebutuhan (underlying).
Hal itu untuk mencegah aksi spekulan pembelian valas yang bisa memperlemah nilai tukar rupiah.
Baca juga: Rupiah bergerak ke level Rp14.850
Baca juga: Pemerintah sebut pelemahan rupiah tidak perlu dikhawatirkan berlebihan
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018