"Lebih tingginya lifting migas tersebut justru membuat biaya produksi (cost recovery) yang tercatat 10,22 miliar dolar AS menjadi lebih rendah dari outlook tahun 2018, yaitu sebesar 11,34 miliar dolar AS," demikian data yang dihimpun Antara dari Kementerian ESDM, Jakarta, Sabtu.
Usulan ini selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dan ditetapkan pada Rapat Kerja hari Senin, (17/9).
"Lifting minyak dan gas bumi sampai hari ini realiasasinya itu 1,921 juta BOEPD, outlooknya 1,902 juta BOEPD. Dan untuk RAPBN 2019 diusulkan lifting migas sebesar 2 juta BOEPD dengan biaya produksi 10,22 miliar dolar, dengan kurs sebesar Rp 14.400 per dolar AS," ujar Jonan.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, realisasi cost recovery hingga akhir agustus 2018 sebesar 7,77 milyar dolar dan outlooknya sebesar 11,34 miliar dolar. Untuk mengurangi cost recovery ini, menurut Jonan, tidak banyak yang bisa dilakukan, paling banyak 1/3 atau 40 persen karena sisanya merupakan sisa bawaan dari masa kontraknya puluhan tahun yang lalu.
Sementara itu, Kepala SKK Migas, Amin Sunaryadi menambahkan, lifting minyak bumi akan didominasi oleh 12 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) seperti PT. Chevron Pacific Indonesia, Mobil Cepu LTD, PT. Pertamina EP dan Pertamina Hulu Energi yang menghasilkan lifting hingga 88 persen dari lifting minyak nasional.
"Lifting minyak bumi hingga akhir bulan Agustus 2018 sebesar 774.425 BOPD atau 97 persen dari target lifting. Untuk tahun 2019 mendatang SKK Migas menetapkan prakiraan untuk tahun 2019 sebesar 750 ribu BOPD," ujar Amin.
Prakiraan 2019 itulah yang nanti pada Oktober hingga pertengahan bulan Desember 2018 itu yang akan dibahas secara detail perincian rencana kerja sehingga biaya yang akan menjadi cost recovery berapa termasuk produksi dan besar liftingnya.
Sejak tahun 2013 hingga 2018, realisasi cost recovery selalu melampaui target yang sudah ditetapkan, namun untuk tahun 2019 mendatang Amin menegaskan akan berkurang karena sebagian kontrak migas skema production sharing contract (PSC) cost recovery berubah menjadi PSC gross split.
"Saat ini yang sudah efektif menggunakan skema gross split, Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ dan yang baru akan mulai yaitu PHE Tuban dan PHE Ogan Komering. Nanti satu triwulan lagi akan ditambah dengan Sanga-Sanga dan South East Sumatera. Diharapkan penerapan skema gross split akan menurunkan biaya cost recovery," jelas Amin.
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2018