Mekkah (ANTARA News) - Melintasi gerbang masuk Al Balad, Jeddah, serasa masuk ke mesin waktu yang membawa pengunjung kembali ke masa lalu Arab Saudi di salah satu kota pelabuhan tersibuk di Jazirah Arab itu.Di sini ramainya kalau hari libur, liburnya Jumat dan Sabtu. Jadi kalau mau melihat keramaian di sini jangan di hari kerja, apalagi di siang hari yang terik seperti ini,
Al Balad secara bahasa artinya kota. Penyebutan itu juga bisa merujuk pada Kota Tua Jeddah yang sempat menjadi tanda kejayaan perdagangan lintas negara di dunia Islam. Kawasan tersebut merupakan jantung dari Jeddah di masa lalu.
Jeddah semakin ramai sejak 1869 seiring dibukanya Terusan Suez di Mesir yang menghubungkan Laut Mediterania dan Laut Merah. Dua kawasan perairan itu menjadi terhubung dan kapal-kapal besar dapat memotong jalur pelayaran dari Eropa ke Asia dan sebaliknya tanpa harus mengitari Benua Afrika.
Dengan aktivitas yang semakin riuh dengan kegiatan masyarakat baik lokal maupun pendatang, tentu membuat Jeddah terus dibangun dengan fasilitas-fasilitas pendukungnya.
Di tempat tersebut terdapat penanda penting arkeologi yang bisa "bercerita" mengenai seperti apa bentuk Jeddah di masa lampau seperti benteng, alun-alun, masjid dan pasar. Terdapat juga sejumlah rumah bertingkat yang sudah tidak dihuni.
Sebagai kawasan pelabuhan yang berbatasan langsung dengan Laut Merah, membuat orang dari mana saja hilir mudik di bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Turki Usmani (Barat menulisnya dengan Ottoman). Tak pelak, Jeddah sebagai kawasan sibuk memiliki bangunan-bangunan baheula yang terus dimakan usia tapi tetap memiliki pesona khas.
Bangunan-bangunan bertingkat, arsitektur bernafaskan Jazirah Arab lampau, pepohonan jenis pakis dan atmosfer terasa sangat berbeda dengan kota penting di Saudi lainnya, seperti di situs suci umat Islam yaitu Mekkah dan Madinah.
Di dua kota suci (Haramain) umat Islam itu, bangunan-bangunan modern terus bertumbuh. Hotel-hotel bergaya masa kini terus meremajakan dua kota itu lantaran kebutuhan jamaah haji dan umrah akan tempat tinggal dan fasilitas publik.
Pemandangan akan berbeda dengan di "Old Jeddah" yang memang bentuknya dipertahankan otoritas setempat agar tetap serupa dengan kondisi masa lalu.
Berdasarkan pengamatan Antara, gedung-gedung bertingkat mewarnai Al Balad. Jendela, pintu, lekuk bangunan, tata letak gedung, lorong jalan dan lainnya menunjukkan Al Balad tetap seperti yang dulu, tak berubah.
Hanya saja, beberapa bagian bangunan memang tidak terawat sebagaimana adanya pintu kayu lapuk dan tembok yang agak rusak. Tapi bagi sejumlah pecinta fotografi, titik-titik itu justru menjadi daya tarik tersendiri untuk diabadikan atau sekadar menjadi tempat swafoto.
Mengunjungi Al Balad pada siang hari yang terik merupakan pilihan yang kurang bijak. Selain suhu yang bisa mencapai 39 derajat Celcius pada September, Jeddah Lama itu juga memiliki kelembaban tinggi karena dekat dengan Laut Merah yang basah.
Temperatur panas berpadu kelembaban di atas 80 persen terasa kurang nyaman bagi sebagian orang karena kulit mudah berkeringat dan lepek. Kondisi tentu akan berbeda dengan di Mekkah atau Madinah yang panasnya bisa lebih dari 40 derajat Celcius tapi kelembaban rendah sehingga udara kering. Dampaknya, meski cuaca panas tapi kulit tidak mudah basah kuyup akan peluh.
Antara mengunjungi Al Balad di hari kerja di Saudi sehingga kawasan itu landai serta sedikit aktivitas. Kendaraan wira-wiri pengangkut pengunjung juga tidak beroperasi terpaku di salah satu jalan di kompleks dalam Al Balad.
Setelah bertanya kepada seorang Indonesia yang menetap di Saudi (mukimin) bernama Anwar, terdapat jawaban yang mencerahkan atas pertanyaan sepinya Al Balad. Libur di Saudi memang berbeda dengan di Indonesia yang jamak di kantor-kantornya tutup pada Sabtu dan Minggu.
"Di sini ramainya kalau hari libur, liburnya Jumat dan Sabtu. Jadi kalau mau melihat keramaian di sini jangan di hari kerja, apalagi di siang hari yang terik seperti ini," kata dia.
Dia menambahkan jika umumnya orang di Saudi beraktivitas di luar ruangan menjelang waktu Ashar ketika matahari tidak begitu terik. Pada malam hari keramaian bisa semakin bertambah sampai sekitar pukul 01.00 waktu setempat.
Al Balad yang dekat dengan Pasar Kurnis dan Masjid Qishas sering menjadi tujuan paket wisata jamaah asal Indonesia. Pasar Kurnis merupakan surga belanja parfum, emas, elektronik dan kebutuhan lainnya bagi jamaah.
Sementara Masjid Qishas sering menjadi tempat eksekusi hukum penggal kepala bagi mereka yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan ditetapkan layak mendapatkan hukuman mati.
Dengan lokasi yang berdekatan, sejumlah jamaah haji Indonesia kerap mengunjungi Al Balad, Pasar Kurnis dan Masjid Qishas dalam rangkaian perjalanannya di Jeddah.
Gerbang Berhaji
Jeddah saat ini dan dulu juga tidak pernah bisa dipisahkan dari ibadah haji dan umrah. Salah satu kota pelabuhan terpenting Saudi itu menjadi salah satu gerbang keluar masuknya jamaah haji dan umrah dari dan ke dua Tanah Suci.
Komisi Saudi untuk Pariwisata dan Warisan Nasional (SCTH) menyebut Jeddah menjadi titik mula jamaah menepi dari laut ke darat dan sebaliknya sejak pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 647 Masehi atau 26 Hijriyah.
Jamaah Indonesia juga menggunakan pelabuhan di Jeddah untuk memulai ibadah haji dan umrahnya, terutama di masa penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial saat itu tetap memberi ruang kepada orang pribumi untuk menunaikan haji meski sembari diawasi pergerakannya.
Di Al Balad memang saat ini tidak ada titik pasti lokasi kantor urusan imigrasi yang mengurusi pribumi Hindia Belanda. Hanya saja, jika memang tidak ada di lokasi tersebut maka tempatnya tidak akan jauh dari Kota Tua Jeddah.
Satu hal yang pasti beberapa kantor badan internasional ditemukan di kota ini, seperti Organisasi Penyiaran Negara Islam, Badan Dana Ilmu, Teknologi dan Pembangunan, Badan Solidaritas Islam, Bank Pembangunan Islam, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan lain-lain.
Pada era modern, Jeddah tidak kehilangan perannya sebagai gerbang jamaah Indonesia untuk berhaji. Terdapat dua gelombang penerbangan kelompok terbang Indonesia di masa kini.
Merujuk Rencana Perjalanan Haji Indonesia tahun 2018, gelombang pertama kloter mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMMA) Madinah dan saat pulang akan lepas landas dari Bandar Udara King Abdulaziz International Airport (KAIA) Jeddah. Sementara gelombang dua kloter, mendarat di Jeddah dan kembali ke Tanah Air.
Singkat kata, Jeddah tak pernah habis diterpa zaman untuk menjadi pintu keluar masuknya jamaah haji Indonesia sejak era pengelolaan oleh sahabat Rasulullah Muhammad SAW, Kekhalifahan Turki Utsmani hingga masa Kerajaan Arab Saudi berkuasa di masa sekarang.
Zaman boleh berubah tapi Al Balad tak pernah bisa dilewatkan sebagai saksi bisu sejarah perjalanan ibadah haji Muslim sedunia dari masa ke masa.
Baca juga: Artikel - Tambah kuota haji, antara harapan dan ganjalan
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018