Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo memberi penjelasan singkat soal cukai rokok dan layanan kesehatan. Dia menyatakan, 50 persen penerimaan dari cukai rokok harus digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan.... perbaikan sistem itu harus terus dilakukan...
"Perpres terkait itu memang sudah kami keluarkan," kata Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Rabu.
Ia menyebutkan, ada amanat Undang-undang bahwa 50 persen dari cukai rokok itu digunakan untuk layanan yang berkaitan dengan kesehatan.
"BPJS Kesehatan sendiri kemarin mengalami defisit yang harus ditutup. Apapun yang namanya pelayanan kesehatan masyarakat itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga defisit itu sebagian ditutup dari hasil cukai rokok," kata dia.
Ia menyebutkan, sudah memerintahkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk memeriksa kondisi keuangan BPJS Kesehatan. "Artinya ini prosedur, akuntabilitas sudah dilalui," katanya.
Jokowi juga sudah memerintahkan direktur utama dan dewan direksi BPJS Kesehatan untuk memperbaiki semua sistem termasuk verifikasi atas klaim yang masuk ke badan itu.
"BPJS Kesehatan ini menjangkau dari pusat sampai ke kabupaten kota, provinsi seluruh Tanah Air. Ini bukan suatu hal mudah. Bagaimana mengontrol, bagaimana memonitor klaim dari rumah sakit. Bukan sesuatu yang gampang," katanya.
Ia menyebutkan dengan luasnya jangkauan pelayanan, badan itu harus terus memperbaiki sistem sehingga lebih efisien.
"Saya mengalami semuanya, di provinsi ada Kartu Jakarta Sehat. Itu (untuk me)ngontrol rumah sakit tidak mudah. Ini seluruh negara, ya khan. Artinya perbaikan sistem itu harus terus dilakukan," katanya.
Ketika ditanya melalui penggunaan dana bagi hasil cukai rokok untuk membayar BPJS Kesehatan maka pendapatan daerah akan berkurang, dia menegaskan UU mengamanatkan 50 persen pendapatan bagi haail cukai itu untuk pelayanan kesehatan.
"Itu yang (me)nerima juga daerah kok, untuk pelayanan kesehatan di daerah. Khan bukan pelayanan di pusat. Itu pun sudah melalui persetujuan daerah," kata dia.
Dalam beberapa pemberitaan, disebutkan defisit dana pemakaian BPJS Kesehatan terjadi sejak program ini diluncurkan pada 2014, dengan besaran sekitar Rp800 juta-Rp1 trilun sebulan. Untuk menutup kekurangan dana tahun ini, pemerintah menurunkan dana penutup sebanyak Rp4,9 triliun.
Menurut versi manajemen puncak PBJS Kesehatan, kekurangan dana mereka pada 2018 sebesar Rp16,5 triliun yangg terdiri dari defisit 2018 hingga bulan berjalan sebanyak Rp12,1 triliun dan Rp4,4 triliun untuk 2017. Akan tetapi menurut perhitungan BPKP, defisit pada 2018 dimaksud itu hanya Rp10,9 triliun alias Rp5,5 triliun lebih rendah ketimbang yang dinyatakan manajemen puncak BPJS Kesehatan.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, menyebut Kementerian Keuangan telah dan akan melakukan sejumlah skenario untuk mengendalikan defisit keuangan BPJS Kesehatan. Pertama, langkah peningkatan peran pemerintah daerah.
"Pertama, untuk kita meningkatkan peran pemerintah daerah," ujar Mardiasmo, saat rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/9/2018).
Mardiasmo mengungkapkan peningkatan peran Pemda tersebut merupakan langkah konkret yang menjadi suatu bauran kebijakan. Salah satunya dengan menerbitkan PMK 183/2017 tentang tunggakan iuran Pemda pada tahun 2017 untuk mendisiplinkan Pemda.
"Kemudian kami menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No 222/2017 tentang penggunaan dana bagi hasil cukai tembakau sebesar Rp1,48 triliun dengan cara supply side," katanya.
Selanjutnya, kata Mardiasmo, untuk meningkatkan peran Pemda juga dilakukan pemanfaatan dana pajak rokok. Pemanfaatan tersebut diatur dalam Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan Nasional.
"Dalam Perpres ini dilimpahkan kepada Kementerian Keuangan untuk dapat memotong langsung pajak rokok yang akan diserahkan kepada daerah. Tetapi, yang dipotong adalah pemerintah daerah yang melakukan penunggakan," kata Mardiasmo.
Pewarta: Agus Salim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018