Peneliti senior PT Bio Farma Neni Nurainy mengatakan di Jakarta, Jumat, Bio Farma terlebih dulu memerhatikan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) terkait produksi yang dilakukan oleh produsen vaksin.
Neni mengatakan Bio Farma hanya mengimpor vaksin dari produsen yang menerapkan standar WHO dalam proses produksinya.
Setelah itu, Bio Farma memerhatikan aspek kapasitas produksi produsen vaksin. "Walaupun sudah berstandar WHO tapi kapasitasnya harus memenuhi untuk kebutuhan negara lain," kata Neni.
Contohnya pada vaksin campak rubella (MR), Bio Farma mengimpor dari Serum Institute of India (SII). Sementara negara produsen vaksin MR ada tiga di dunia, yakni India, China, dan Jepang.
Bio Farma tidak mengimpor vaksin dari China karena proses produksinya tidak berstandar WHO. Sementara Jepang yang sudah berstandar WHO hanya diperuntukkan bagi kebutuhan dalam negerinya, tidak memenuhi kapasitas untuk kebutuhan impor.
Sementara syarat seleksi yang ketiga adalah bahwa vaksin tersebut sudah digunakan oleh banyak negara lain.
"Harus sudah teregistrasi di banyak negara, banyak yang menggunakannya sehingga keamanannya sudah teruji," kata Neni.
Kampanye imunisasi campak dan rubella (MR) oleh pemerintah di 28 provinsi luar Pulau Jawa menggunakan vaksin produksi SII dari India.
Vaksin MR dari SII sempat menjadi kontroversi lantaran kehalalannya yang dipertanyakan oleh masyarakat. Namun Majelis Ulama Indonesia telah melakukan pengujian dan mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 yang menyebutkan vaksin MR dari SII boleh (mubah) digunakan untuk imunisasi walau masih ada unsur nonhalal pada vaksin.
Pengecualian mubah penggunaan vaksin MR dari India dikarenakan ada kondisi kedaruratan karena belum ditemukannya vaksin dengan kandungan atau unsur halal sepenuhnya.
Baca juga: Kemenkes sebut empat faktor ini penyebab melencengnya target imunisasi rubella
Baca juga: 100 anak Riau cacat akibat sindrom rubella
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018