Misalnya Schneider Electric, perusahaan yang berfokus pada transformasi digital di pengelolaan energi dan otomasi, yang menghadirkan konsep EcoStruxure Connected Home.
Konsep ini mengedepankan teknologi yang merespon langsung kebutuhan pemilik rumah, salah satunya keamanan. Sistem pengaman pada pintu yang terintegrasi dengan berbagai sensor dan CCTV.
Sensor ini antara lain bisa mendeteksi keberadaan orang-orang yang berada dalam rumah, status pintu utama sudah tertutup atau belum, kebocoran air dan kelembapan udara. Apabila pintu belum tertutup, akan ada peringatan untuk pemilik.
Selain itu, ada pula kontrol pada pencahayaan di seluruh ruangan rumah, tirai, dan semuanya bisa diakses hanya melalui aplikasi khusus dalam smartphone atau Wiser App.
Di sini ada konektivitas perangkat Internet of Things (IoT) untuk pengaturan dan perubahan yang cepat sekaligus menyediakan kontrol dan kolaborasi antara sistem bangunan dengan sistem dan perangkat pihak ketiga. Dengan kata lain, konsep EcoStruxure yang salah satunya terwujud dalam connected home memanfaatkan kemajuan dalam IoT, mobilitas, penginderaan, cloud, analisa, dan keamanan siber.
Tren smart home dan tantangan teknologi pintar
Executive Vice President Building & IT Business Schneider Electric, Philippe Delorme mengatakan konsep smart home atau rumah pintar menjadi bahasan yang hangat saat ini, kendati dia tak menampik ada kerumitan dalam hal itu.
"Smart home adalah topik yang masih hangat dibahas, seiring semakin banyak orang yang menggunakannya, berkembang walau sedikit rumit," ujar dia kepada ANTARA, Jumat (21/9).
Untuk wilayah Asia sendiri, baru sejumlah teknologi dikembangkan perusahaannya. Khusus untuk Indonesia, wiser lighting akan meluncur waktu dekat.
"Ada sistem yang lebih komprehensif untuk rumah, yang terintegrasi dalam kontrol pencahayaan, kontrol suhu ruangan yang sudah beroperasi di Asia. Kami juga mengembangkan sistem untuk mengontrol air conditioning menggunakan smartphone dengan wireless infrared control," papar Delorme.
Dia mengatakan perusahaanya secara perlahan berusaha membangun ketertarikan masyarakat, termasuk di Asia, pada teknologi khususnya untuk smart home.
Walau memang, menurut dia, kalangan kelas menengah khususnya di tiga negara Asia yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand merasa haus pada teknologi.
"Tantangan besar kami adalah kesadaran orang-orang untuk memahami teknologi. Di Indonesia, Malaysia, dan Thailand, kelas menengahnya lebih haus teknologi," kata Delorme.
Di sisi lain, dia juga menghadapi stigma yang melekat pada sebagian orang mengenai mahalnya penerapan teknologi.
"Kami berusaha step by step, membangun ketertarikan (masyarakat). Soal biaya, untuk wiser wireless bisa menghabiskan 100-100.000 dolar Amerika Serikat. Namun ini tergatung produk yang konsumen butuhkan," tutur Delorme.
Khusus untuk Indonesia, Country President Schneider Electric Indonesia, Xavier Denoly menuturkan kompetensi timnya dan pemahaman teknologi orang-orang yang membutuhkan teknologi perusahaannya menjadi tantangan terbesar untuk dia dan tim.
"Apa yang kami lakukan dalam hal ini? Kami berusaha melatih tim kami agar bisa menjelaskan dengan baik apa itu khususnya teknologi EcoStruxure, juga kepada mitra kami, bagaimana cara menggunakan software kami. Ini menjadi tantangan terbesar kami," papar dia.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2018