• Beranda
  • Berita
  • Syafruddin terbukti korupsi bersama Dorodjatun-Sjamsul-Itjih Nursalim

Syafruddin terbukti korupsi bersama Dorodjatun-Sjamsul-Itjih Nursalim

24 September 2018 18:22 WIB
Syafruddin terbukti korupsi bersama Dorodjatun-Sjamsul-Itjih Nursalim
Terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung (kedua kiri) bergegas usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/9/2018). Majelis hakim memvonis mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tersebut dengan hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp700 juta subsider tiga bulan kurungan. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/ama 
Jakarta (ANTARA News) - Mantan ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung disebut terbukti melakukan korupsi bersama dengan pihak lain yaitu Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

"Perbuatan yang dilakukan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai ketua BPPN yang menghapuskan utang BDNI ke petambak yang dijamin PT DCD dan PT WM dan memberikan surat pemenuhan kewajiban di sisi lain Sjamsul Nursalim belum melunasi kewajiban atas kesalahan menampilkan utang sehingga seolah-olah piutang lancar, terdakwa tidak sendiri tapi dilakukan bersama-sama dengan pihak terkait lain yang masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut," kata anggota majelis hakim Anwar dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Dalam perkara ini, Syafruddin Arsyad Temenggung divonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan.

Ia selaku Ketua BPPN periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

"Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menyetujui dan sependapat dengan terdakwa dan mengeluarkan Keputusan 13 Februari 2004, padahal terdakwa maupun Dorodjatun yang sama-sama hadir di dalam ratas mengetahui bahwa ratas tidak pernah mengambil keputusan atau memberikan persetujuan untuk penghapusan atas porsi hutang petambak tersebut," ungkap Anwar.

Kemudian SK KKSK yang ditandatangani Dorodjatun tersebut terdapat klausul bahwa keputusan itu mencabut 2 SK KKSK sebelumnya yang memerintahkan penagihan kepada Sjamsul Nursalim menjadi tidak berlaku sehingga mengakibatkan hilangnya hak tagih negara dalam hal ini BPPN kepada Sjamsul Nursalim. 

"Bahwa pada 17 Maret 2004, terdakwa maupun Dorodjatun melakukan rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas penyelesaian PKPS Sjamsul Nursalim yang pada akhirnya KKSK mengeluarkan keputusan yang isinya antara lain menyetujui pemberian bukti penyelesaian perjanjian Pemegang Saham oleh Ketua BPPN berupa pelepasan dan pembebasan kepada Sjamsul Nursalim sehingga unsur pasal 55 ayat 1 kuhp memenuhi dan ada dalam perbuatan terdakwa," tegas Anwar.

BDNI milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).

BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.

Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi). 

Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.

Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagihmenjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.

Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang "sustainable" dan "unstainable" adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.

Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.

Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.

Baca juga: Indef: Vonis Syafruddin Temenggung parameter kepastian hukum

Baca juga: JPU sebut Syafruddin bukan pelaku tunggal dalam BLBI

Baca juga: Dorodjatun akui KKSK setujui penghapusbukuan utang Sjamsul

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018