Tim dipimpin oleh Asisten Deputi Direktur Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan HAM Dina Juliani didampingi pejabat Kemkumham Rahmadi dan konsultan hukum Muhamad Azis.
Acara yang dipandu Atase Hukum KBRI Kuala Lumpur Sumarsono tersebut turut dihadiri sejumlah pejabat KBRI Kuala Lumpur, sejumlah staf lokal yang bersuamikan warga Malaysia, tokoh pemuda, perwakilan ulama serta perwakilan ormas Indonesia di Malaysia.
"RUU HPI ini di-pending (digantung) pembahasan-nya di DPR sejak 1980 kemudian 2015. Mungkin kalah `seksi` dengan RUU Korupsi atau RUU Terorisme. Kita hanya punya hukum perdata ketika WNI di lingkup nasional. Saat WNI berhubungan dengan pihak asing menjadi masalah," kata Dina Jualiani.
Dina mengatakan persoalan tentang aset WNI di luar negeri, anak lahir dari perkawinan campur dan lainnya merupakan persoalan-persoalan privat berkaitan dengan asing yang perlu aturan hukum.
"Hukum ini tentang asing ini tersebar dalam berbagai regulasi tetapi saat di pengadilan hakim kesulitan. Bagaimana menangani WNI yang pailit di luar negeri? Ketika sengketa dengan warga negara asing bagaimana menyelesaikannya? Ini yang akan dijawab oleh HPI.
"Filipina dan China sudah mempunyai undang-undang-nya," tuturnya.
Dina menegaskan sebelumnya tim sudah melakukan sosialiasi ke Bali Bandung dan Malang, sedangkan ke Kuala Lumpur untuk menggali persoalan dari WNI di Malaysia.
Konsultan HPI Mohamad Azis mengatakan HPI mungkin terlalu abstrak di mata publik, padahal sangat berhubungan dengan persoalan sehari-hari sehingga persoalannya adalah bagaimana RUU HPI ini dianggap penting di depan publik.
Atase Hukum KBRI Kuala Lumpur Sumarsono mengatakan pihaknya akan semua masukan dan meneruskan ke Jakarta.
"Saya tiga bulan tugas di KBRI bersamaan dengan pelaksanaan program pemulangan sukarela pekerja ilegal oleh pemerintah Malaysia. Saat program ini berjalan. Bagian imigrasi dan konsuler tidak bisa istirahat," ujarnya.
Dia menegaskan dirinya bekerja berdasarkan dokumen persoalan banyak TKI ilegal tidak mempunyai dokumen kemudian mereka berhubungan dengan teman-nya di kongsi atau penampungan sementara TKI hingga melahirkan anak yang tidak mempunyai dokumen.
"Yang jadi masalah lahir di Malaysia, tetapi tidak bisa menunjukkan dokumen. Kami akan memberikan SPLP tapi masalahnya di Indonesia tidak punya keluarga. Saya berharap di naskah akademik RUU HPI juga mengangkat orang-orang yang tidak punya dokumen di Malaysia ini," ucapnya.
Salah seorang lokal staf yang nikah dengan warga Malaysia pada kesempatan tersebut, menanyakan tentang aset yang dimilikinya di Indonesia sedangkan anaknya berkewarganegaraan Malaysia mengikuti suaminya.
Tim Kemkumham pada kesempatan tersebut menyarankan perlunya WNI yang melakukan perkawinan campuran membuat perjanjian aset atau harta gono gini dengan suami-nya idealnya sebelum menikah.
Pewarta: Agus Setiawan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018