Jakarta (ANTARA News) - Peristiwa likuifaksi bagi banyak ahli maupun peneliti kebumian merupakan hal biasa, namun yang terjadi di Kabupaten Sigi dan Palu sesaat setelah gempa dengan magnitude 7.4 menggoncang timur laut Donggala pada Jumat (28/9), dianggap cukup menyeramkan.Itu adalah contoh likuifaksi yang paling menyeramkan yang pernah saya lihat. Banyak suara-suara aneh terdengar
"Itu adalah contoh likuifaksi yang paling menyeramkan yang pernah saya lihat. Banyak suara-suara aneh terdengar," kata Ahli Geologi dari Saint Louis University John Encarnacion menanggapi video-video peristiwa likuifaksi yang terjadi di Kabupaten Sigi dan Kota Palu kepada Antara melalui pesan singkat diterima di Jakarta, Rabu.
Pada awalnya justru ia sempat berpikir peristiwa di dalam salah satu video yang sempat viral di media sosial tersebut adalah tsunami.
Ia menduga seluruh kawasan di dalam video tersebut sebenarnya berada di atas endapan lumpur dan pasir dari pesisir atau sungai yang tidak terkonsolidasi dan jenuh dalam air. Ketika material itu terguncang oleh gempa bumi maka "mencair".
Usia endapan pasir dan lumpur tersebut, menurut perkiraannya dapat mencapai ribuan hingga puluhan ribu tabun.
"(Usia) itu sangat muda dan tidak cukup waktu untuk berubah menjadi batu. (Likuifaksi) ini sebenarnya adalah situasi yang sama terjadi di banyak wilayah pesisir," ujar dia.
Saat ditanya antara kaitan likuifaksi dan tsunami, ia mengatakan mereka adalah dua fenomena yang berbeda. Tsunami dimulai karena permukaan laut terganggu, baik oleh gerakan patahan atau tanah longsor di bawah laut.
Sedangkan likuifaksi terjadi karena sendimen yang kaya air terguncang hebat oleh gempa.
Sebelumnya diberitakan bahwa sejumlah lokasi di Kota Palu dan Sigi mengalami fenomena likuifaksi pascagempa 7.4 Skala Richter (SR). Tidak hanya rumah yang "tertelan", saat peristiwa "pencairan tanah", tersebut terjadi tetapi juga sebagian penduduk yang tinggal di atasnya.
Baca juga: Badan Geologi tegaskan tidak ada informasi Palu akan tenggelam
Baca juga: Gempa bermagnitudo 4,7 getarkan tenggara Palu
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018