Oleh dr Dito Anurogo MSc *)PTSD merupakan satu-satunya gangguan mental mayor di mana penyebabnya diketahui, yakni suatu kejadian yang melibatkan ancaman terhadap integritas fisik diri seseorang
Berdasarkan peta bencana di Indonesia, sekitar 150 juta orang menempati wilayah rawan bencana. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 513 bencana alam di Indonesia sejak Januari hingga Maret 2018.
Sejarah mencatat gempa bumi pernah terjadi di Sumatra pada 16 Februari 1861, menewaskan ribuan orang. Pada 26 Desember 2004, gempa diiringi tsunami menewaskan ratusan ribu orang di Aceh. Pada 28 September 2018, gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah menewaskan lebih dari 1.500 orang (data per 5 Oktober 2018).
Indonesia memang dikenal sebagai "negeri" bencana. Bencana alam apapun kerap dijumpai di negara ini, mulai dari gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor, puting beliung, kebakaran hutan-lahan, gelombang pasang dan abrasi, hingga erupsi gunung api.
Dari perspektif fenomenologis, muncullah istilah "penyakit" pascabencana atau yang dikenal dalam dunia medis sebagai Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
PTSD adalah konsekuensi psikopatologis paling menonjol dari paparan terhadap kejadian traumatis. Prevalensi PTSD berkisar 1,3 persen-12,2 persen bervariasi menurut latar belakang sosiokultural dan negara tempatnya tinggal.
Adapun angka prevalensi 1-tahun mencapai 0,2 persen hingga 3,8 persen. Lebih dari 70 persen orang dewasa di seluruh dunia mengalami suatu kejadian traumatik pada beberapa waktu di kehidupan mereka, dan sekitar 31 persen mengalami empat atau lebih tragedi tragis.
PTSD telah diterima menjadi nomenklatur diagnostik formal oleh psikiater Amerika sejak 1980. PTSD merupakan satu-satunya gangguan mental mayor di mana penyebabnya diketahui, yakni suatu kejadian yang melibatkan ancaman terhadap integritas fisik diri seseorang atau lainnya serta menginduksi respons takut yang berlebihan, ketidakberdayaan, atau horor.
Penderita PTSD mengalami gejala re-experiencing (terbayang kejadian saat kejadian bencana alam, mimpi buruk, jantung berdebar kencang, sering berkeringat dingin), sulit mengatur dan membedakan emosi, avoidance (menghindari semua hal atau berita yang terkait bencana alam), arousal-reactivity (mudah kaget atau marah, sulit tidur), cognition-mood (depresi, merasa bersalah, berpikir negatif, pelupa) yang berlangsung minimal selama satu bulan.
Diagnosis PTSD ditegakkan oleh dokter atau psikiater berdasarkan International ICD-11 (Classification of Diseases, 11th Revision) dan DSM-5.
Multiperspektif
Sebagai suatu fenomena psikologis, PTSD tentu memiliki pemahaman fundamental yang komprehensif, multiaspek, meliputi psikofisiologis, neuroimaging struktural dan fungsional, kajian endokrinologis, genetik, neurosains, serta biologi molekuler.
Menurut studi neuroendokrinologis, dijumpai abnormalitas kadar katekolamin dan kortisol pada individu dengan PTSD. Terdapat pula berbagai faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya pembebasan noradrenalin sebagai respons terhadap aktivasi sistem saraf simpatik pada PTSD termasuk genetik atau penurunan neuropeptide Y (NPY) yang diinduksi stres, yang menghambat pembebasan noradrenalin, sebagaimana rendahnya jumlah atau afinitas autoreseptor alfa-2-adrenergik.
Studi neuroimaging fungsional menggunakan positron emission tomography (PET) atau functional MRI (fMRI) berhasil menunjukkan perubahan aktivitas di otak bagian amigdala, vmPFC, dACC, hipokampus, dan korteks insular pada individu dengan PTSD.
Amigdala merupakan bagian otak pendeteksi ancaman, rasa takut, dan peristiwa emosional.
Pasien PTSD menunjukkan penguatan aktivasi amigdala dan dACC (dorsal anterior cingulate cortex) saat takut. Adapun otak bagian vmPFC (ventral medial prefrontal cortex) termasuk rostral ACC, korteks subkalosal dan girus frontal medial menunjukkan penurunan aktivasi pada individu dengan PTSD.
Untuk hipokampus, beberapa studi menunjukkan penguatan aktivasi, sedangkan lainnya mengungkapkan pelemahan aktivasi.
Perbedaan interpretasi ini berdasarkan tipe paradigma dan analisis antarstudi. Individu dengan PTSD juga menunjukkan peningkatan aktivasi korteks insular, di mana hal ini secara positif berkorelasi dengan keparahan gejala PTSD.
Sebuah studi menemukan reduksi GABA tipe A (GABA-A) receptor binding di seluruh otak bagian korteks, hipokampus, dan thalamus pada individu dengan PTSD. Hal ini didukung oleh dua studi lain menggunakan ligan eksogenus.
Satu studi mengungkap reduksi -opioid receptor binding potential di berbagai daerah otak limbik dan paralimbik, yang lain menemukan penurunan ekspresi reseptor 5-HT1B di otak bagian kaudatus, amigdala, dan ACC.
Riset membuktikan, neuropeptide Y (NPY) berefek protektif selama stres, yang diperantarai modulasi pelbagai respons simpatik dan efek antagonis-ansiogenik dari corticotropin-releasing hormone (CRH).
Manusia memiliki varian gen NPY terkait dengan peningkatan ekspresi gen yang menunjukkan penurunan tingkat kecemasan dan berkurangnya reaktivitas amigdala terhadap rangsangan provokatif emosional.
Solusi
Penatalaksanaan PTSD berupa intervensi farmakologis, psikologis, dan inovatif. Sebagian besar penderita PTSD menerima penanganan farmakologis berupa obat antidepresan, ansiolitik atau hipnotik-sedatif, dan antipsikotik.
Paroxetine dan sertraline telah disetujui oleh BPOM di Amerika Serikat, yakni FDA (Food and Drug Administration) untuk tatalaksana PTSD.
Adapun venlafaxine dan nefazodone juga dapat diresepkan dokter/psikiater untuk mengatasi PTSD. Mirtazapine, trazodone, dan prazosin digunakan sebagai tatalaksana insomnia dan mimpi buruk. Topiramate untuk pasien PTSD dan gangguan penyalahgunaan alkohol.
Intervensi psikologis terbaik berupa terapi perilaku kognitif (CBT) berfokus trauma. CBT memulihkan pelbagai elemen tragis dari kejadian traumatis serta mencegah distorsi kognitif.
Penanganan inovatif berupa psikoedukasi, psikoreligi, mendongeng, regulasi emosi, pemaknaan, terapi prosesing kognitif (CPT). CPT mengeksplorasi kepercayaan dan kognisi pascatraumatis disfungsional pasien, misalnya dunia ini berbahaya, tak terkendali, tak terduga, perasaan bersalah, tak berguna, dan tak berdaya.
Dengan tatalaksana paripurna, komprehensif, dan berkesinambungan, penderita PTSD dapat pulih seperti sediakala.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah (FK Unismuh) Makassar
Pewarta: -
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018