"Justru UU No. 10/2016 tentang Pilkada lebih progresif dibandingkan UU Pemilu," kata Abhan dalam diskusi politik uang di Media Center Bawaslu, Jakarta, Senin, .
Dalam UU Pilkada, menurut Abhan, baik pemberi maupun penerima dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana pemilu. Sedangkan dalam UU Pemilu hanya pemberi yang dapat dipidanakan.
Selain itu, subjek pelaku politik uang di UU Pemilu dan UU Pilkada juga berbeda. Di UU Pilkada semua pihak yang melakukan politik uang, tidak hanya tim sukses, dapat dijerat secara hukum.
Di dalam UU Pemilu, subjek pelaku politik uang dibedakan dalam tiga fase. Pada fase masa kampanye, mereka yang bisa dijerat adalah pelaksana tim kampanye (tim suksesnya). Begitu pula pada fase masa tenang. Pada masa pencoblosan, baru semua pihak yang melakukan politik uang dapat dijerat.
Hal lainnya, menurut dia juga terkait mahar politik. Meskipun dilarang, menurut dia, tidak ada sanksi pidananya. Sementara untuk menjatuhkan sanksi administratif dibutuhkan ketetapan hukum pidana yang telah mengikat.
Untuk itu, menurut dia, dibutuhkan sebuah gerakan bersama, tidak hanya Bawaslu, tetapi juga gerakan moral masyarakat dan para calon legislatif untuk pemilu bersih dari politik uang.
"Harus ada gerakan dari caleg-caleg bersih. Di sisi kami, kami akan terus melakukan pengawasan dan mengajak partisipasi publik untuk terus mengawasi," katanya.
Baca juga: 513 daerah rawan politik uang
Baca juga: Bawaslu: politik uang kejahatan dalam demokrasi
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018