"Peran serta partisipasi aktif, kritik dan seterusnya, itu menjadi sangat penting, karena perjuangan rekan-rekan kita yang tidak atau bahkan belum terakomodasi dalam sebuah kebijakan publik belum bisa disuarakan teman-teman sekalian, yang pada akhirnya pemerintah mendapat masukan," kata Moeldoko dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.
Menurut Moeldoko, pemerintah akan coba mengakomodasi masukan masyarakat sipil demi tercapainya keadilan sosial yang mengutamakan kepentingan rakyat.
"Orientasi pembangunan saat ini adalah pembangunan infrastruktur untuk membangun konektivitas antara daerah terpencil dengan perkotaan. Ini juga membangun nilai wawasan kebangsaan," jelasnya.
Kepala Staf Kepresidenan juga menuturkan, organisasi masyarakat sipil adalah mitra kunci bagi pemerintah yang berisi ahli-ahli di bidangnya yang bisa memberikan masukan dan penyeimbang bagi pemerintah.
Moeldoko juga yakin bahwa acara "The People`s Summit on Alternative Development" yang digelar di Sanur, Bali, 8-10 Oktober, bisa menjadi wadah aspirasi masyarakat sipil, yang selaras dengan energi orientasi pembangunan pemerintah saat ini yang mengarah ke pembangunan manusia dengan memerhatikan lingkup sosial, ekonomi dan budayanya.
Sebagaimana diketahui, acara tersebut menuntut agar akuntabilitas lembaga keuangan internasional khususnya Bank Dunia dan IMF yang memiliki utang sejarah dalam proses pembangunan di Indonesia.
Dian Kartikasari, Board INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) sekaligus Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dalam sambutan pembukaan menyatakan bahwa Pertemuan IMF-WB tahun ini menjadi momentum penting karena dunia sedang dalam keadaan yang tidak terlalu baik.
"Bank Dunia, IMF, dan lembaga-lembaga keuangan lainnya, yang didominasi kepemimpinannya oleh negara-negara maju, menjadi alat atau pendukung untuk memastikan bahwa semua bangsa semua negara taat melaksanakan agenda globalisasi ekonomi yang di dalamnya mencakup tiga mantra yaitu liberalisasi, privatisasi dan praktik untuk penguasaan pasar yang mendominasi. Pada akhirnya setelah 25 tahun mantra ini mulai diragukan oleh pimpinan negara maju," papar Dian.
Lebih jauh Dian mengatakan sejumlah pimpinan negara maju dalam dua tahun belakangan ini berlomba melakukan proteksi, bahkan mejadikan pasar sebagai alat perang.
Kenyataan ini, lanjutnya, kemudian memunculkan pertanyaan apakah praktik-praktik pasar bebas yang selama ini didorong untuk diaplikasikan di negara-negara berkembang memang baik untuk dijalankan.
"Keadaan-keadaan yang serba tidak pasti ini berpotensi mempersulit negara berkembang untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustaibable Development Goals/SDGs)," tutur Dian Kartikasari.
Oleh karena itu, menurut Dian, masyarakat sipil harus memberikan kontribusinya sebagai salah satu aktor pembangunan.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018