Jakarta, (ANTARA News) - Pengamat Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad menyarankan polemik perbedaan data beras baiknya diselesaikan hingga pada akarnya.BPK harus berani mengaudit secara menyeluruh. Selisih datanya begitu jauh dan ini menyangkut hajat hidup orang banyak
Suparji Ahmad, Selasa, di Jakarta mengatakan, data yang menjadi polemik memiliki margin yang terlalu besar.
“BPK harus berani mengaudit secara menyeluruh. Selisih datanya begitu jauh dan ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” tukas Suparji.
Hasil audit BPK menurut Suparji yang dapat dijadikan KPK sebagai data awal jika ada indikasi penyelewengan.
“BPK dan KPK harus saling koordinasi, apalagi sudah terlihat dari awal perbedaan datanya, bahkan seharusnya bisa lebih cepat diusut,” katanya.
Ketimpangan data ini terungkap setelah BPS merilis data surplus produksi beras 2018 yang hanya mencapai 2,8 juta ton, jauh di bawah data atau perhitungan Kementan. Berdasarkan laman resmi Kementan, surplus beras tahun ini sebesar 13,03 juta ton. Perhitungan tersebut dari produksi beras 2018 sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras, sementara total konsumsi beras nasional hanya 33,47 juta ton.
Pandangan senada disampaikan Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun. Ia menyebut ketidaksesuaian data wajar jika diselidiki.
Setiap lembaga survei di internal pemerintah menurutnya seharusnya saling berkoordinasi. Tak hanya dari soal pelaksanaan survei, tapi juga soal metodelogi yang tepat yang secara akademik dapat dipertanggungjawaban.
Dijelaskannya, ada dua kemungkinan jika di sebuah instansi memiliki data yang berbeda. Kemungkinan pertama adalah secara metodelogi ada yang keliru. Kemungkinan yang kedua ada suatu hal yang dipicu dari unsur kepentingan di balik angka tersebut.
Baca juga: Moeldoko jelaskan tentang polemik impor beras
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2018