"PDI Perjuangan siap bekerja sama dengan seluruh keluarga besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di dalam menjaga Pancasila, NKRI, konstitusi negara, dan kebinekaan Indonesia," kata Basarah dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Dia menekankan kerja sama antara keluarga besar nasionalis dengan ormas NU dan Muhammadiyah sudah terjalin sejak lama dan bisa dilihat dengan jelas dalam bentang sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Baik NU dan Muhammadiyah, kata dia, memberikan kontribusi nyata dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Dia menjelaskan Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang dikumandangkan pada 22 Oktober tahun 1945 oleh Kiai Haji Hasyim Asy'ari adalah bentuk nyata kontribusi ulama dan santri dalam menjaga keutuhan Indonesia.
Demikian juga halnya dengan Muhammadiyah di era kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo mendirikan Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MU-APS) pada tahun 1948 untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda.
"Terbitnya Keppres Hari Santri Nasional Nomor 22 Tahun 2015 merupakan bukti nyata bahwa negara mengakui peran dan kontribusi ulama dan santri dalam mempertahankan Indonesia. Hari Santri Nasional bukan hanya milik NU dan Muhammadiyah semata, melainkan milik umat Islam Indonesia yang mencintai NKRI dan Pancasila," urai Wakil Ketua MPR RI itu.
Lebih jauh dia mengatakan Bung Karno sebagai tokoh nasionalis dan Presiden Pertama Republik Indonesia juga memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Sebagai contoh, Munas Alim Ulama NU pada tahun 1954 memberikan gelar Waliyul Amri Bi dharuri Asy-Syaukah kepada Bung Karno yang artinya pemimpin di masa darurat yang wajib ditaati perintahnya.
"Sejarah juga mencatat bahwa pendiri Muhammadiyah Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah guru dari Bung Karno," terang Basarah.
Dia menegaskan tidak ada lagi keraguan dalam NU dan Muhammadiyah dalam mengakui Pancasila sebagai dasar negara yang final. Pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, NU dengan tegas mengakui Pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan Muhammadiyah dalam Muktamar 47 di Makassar tahun 2015 menegaskan bahwa negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah artinya negara perjanjian dan tempat bersaksi.
Oleh karena itu, berkaitan dengan pembakaran bendera di Garut, Basarah yang juga pimpinan Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) meyakini bahwa bendera yang dibakar di Garut, Jawa Barat pada 22 Oktober 2018 atau pada peringatan Hari Santri Nasional adalah bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan bukan bendera tauhid.
"Kami yakin kader Ansor, kader Banser tidak akan mungkin membakar kalimat tauhid yang menjadi rukun Islam pertama bagi umat Islam. Yang dibakar adalah bendera HTI sebagai ormas yang sudah resmi dibubarkan dan dilarang oleh pengadilan. Hadirnya bendera HTI di acara Hari Santri Nasional di Garut tersebut sebagai upaya provokasi untuk menciptakan konflik horisontal di tengah-tengah masyarakat," jelas Wakil Ketua Lazisnu PBNU ini.
PDI Perjuangan, menurutnya, terus melakukan dialog dengan NU dan Muhammadiyah agar umat Islam tidak terprovokasi oleh berbagai upaya adu domba sesama umat Islam dan bangsa Indonesia.
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2018