"Komunitas Wayang Ental ini boleh dikatakan terobosan baru," kata Gusti Made Darma Putra selaku Ketua Komunitas Wayang Ental di sela pagelaran tersebut, di Denpasar, Minggu malam.
Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, menjadi terasa istimewa karena diramaikan oleh pementasan Bali Creative Performance dari kedua sanggar yang unik dengan ciri khasnya masing-masing.
Kedua Sanggar itu adalah Sanggar Seni Kuta Kumara Agung dan Sanggar Dewari Swari Karangasem. Penampil pertama yakni Sanggar Seni Kuta Kumara Agung membawakan teatrikal wayang ental bertajuk "Mungkah".
Kata Mungkah yang berarti memulai ini pun mengisahkan seorang tokoh bernama Gusti Pada yang menjadi dalang pertama di Desa Kuta, Kabupaten Badung.
Sudah berdiri 15 tahun, nyatanya Wayang Ental yang berbahan dasar daun ental dan terdiri atas bentuk dua dimensi dan tiga dimensi, baru terlahir tahun 2016 dan 2017.
"Idenya dua tahun lalu, tetapi baru bisa rampung untuk yang dua dimensi tahun 2016 dan yang tiga dimensi tahun 2017," ujar Darma.
Melihat fenomena bahwa dunia pedalangan maupun pewayangan kian tak tertoleh generasi muda, membuat keinginan Darma kian besar untuk meneruskan penciptaan wayang ental meski tak sedikit yang mencibir.
"Nggak sedikit yang bilang kalau wayang ini keluar dari pakem-pakem wayang, tetap sebetulnya tidak," ucap Darma tegas.
Untuk wayang berbentuk dua dimensi tetap mengambil tokoh-tokoh yang umum berada dalam dunia pewayangan khususnya yang berada dalam cerita Mahabharata, dengan teknik memainkan layaknya wayang pada umumnya.
Sedangkan wayang ental tiga dimensi mengambil tokoh tertentu yang menyesuaikan dengan cerita yang akan diambil (bentuk biografi-red) dengan cara memainkannya yang menggabungkan gaya lokal dengan gaya negeri sakura, Jepang.
"Menggabungkan gaya dari Jepang yakni bundraku satu benda atau wayang yang dimainkan lebih dari satu orang dan digabung gaya tetikesan," ucap Darma.
Kemunculan wayang ental mengundang decak kagum dari para penonton sebab keunikan wujud dan detail yang dibuat hampir menyerupai manusia.
Selepas dihibur dengan teatrikal wayang ental, kemunculan suling empretan pun menambah rasa penasaran dari penonton. Suling empretan yang merupakan karya dari anak-anak Sanggar Dewari Swari berasal dari eksplorasi yang dilakukan tiga bulan lalu.
Semua bermula dari eksplorasi, garapan hari ini pun kami landasi dengan istilah Manusa yang berarti Manut Krana Sejatining Rasa (Mengikuti Kata Hati-red)," ujar I Komang Kusuma Adi selaku ketua garapan.
Menuruti kata hati menurut Adi adalah bagaimana seseorang bisa mengeksplorasi diri sehingga bisa menghasilkan sebuah karya yang menginspirasi. "Mencoba eksplor kehidupan seseorang secara pribadi khususnya pada kalangan seniman baik gebug ende, pelukis, dan lainnya," ujar Adi.
Sanggar yang berdomisili di Karangasem ini pun menampilkan empat garapan yang di antaranya bertajuk Nedeh, Pragina Topeng, Citrani, dan Soroh Gebug.
Keunikan terlihat pada gamelan yang memaksimalkan bunyi suling empretan. Nama empretan sendiri diambil dari suara yang dihasilkan suling itu sendiri, yakni "Mprett".
Bagi Adi, keberadaan Bali Mandara Nawanatya dapat menjadi ruang yang bebas untuk berkreasi lepas sehingga dapat menciptakan kesenian yang tak hanya sekadar memuaskan panca indra, melainkan juga sebagai tuntunan hidup manusia.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018