Pesawat ini berangkat pada pukul 06.10 WIB dan sesuai jadwal seharusnya tiba di Pangkal Pinang pada Pukul 07.10 WIB. Namun baru beberapa menit mengudara, pesawat meminta kembali ke landasan sebelum akhirnya hilang dari radar.
Badan SAR Nasional (Basarnas) memastikan pesawat yang mengangkut 189 penumpang beserta kru mengalami kecelakaan tiga jam sejak hilang kontak, dan jatuh di perairan Tanjungpakis Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Sepekan sejak kejadian nahas tersebut, belum ada kepastian mengenai penyebab jatuhnya pesawat, meski telah berseliweran kabar bahwa mesin pesawat mengalami malafungsi dan mati sekitar lima hingga 10 menit sejak lepas landas.
Badan pesawat baru produksi Boeing yang mulai digunakan maskapai Lion Air sejak Agustus 2018 lalu itu juga belum ditemukan hingga Minggu 4 November.
Tim evakuasi baru menemukan roda pesawat, mesin pesawat, kulit pesawat serta bagian dari kotak hitam berupa rekaman data penerbangan (FDR). Data FDR masih perlu dilengkapi oleh rekaman suara kokpit (CVR) yang masih dalam pencarian.
Para saksi mata di lokasi kejadian jatuhnya pesawat menuturkan bagaimana dahsyatnya kecelakaan tersebut dengan berbagai versi cerita, namun semua menyebutkan pesawat tersebut jatuh dalam posisi menukik menuju perairan Kabupaten Karawang yang dalamnya hanya sekitar 30-35 meter.
Para nelayan juga mendengar dentuman keras seperti petir saat pesawat dengan bobot maksimal 80-an ton itu menghunjam ke perairan, ditambah dengan asap hitam dari dalam air serta gelombang air laut yang cukup kuat.
Dengan gambaran dahsyatnya kecelakaan tersebut hampir dapat dipastikan semua orang di pesawat nahas itu meninggal dunia dengan kondisi memilukan.
Identifikasi
Hingga Minggu (4/11), 105 kantong jenazah telah masuk ke Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Polri Raden Said Sukanto, Jakarta, sebagai tempat pengidentifikasian jenazah korban kecelakaan tersebut.
Di rumah sakit ini dilakukan pemeriksaan sampel khas korban setelah meninggal (postmortem) dan dicocokkan dengan sampel fisik khas korban sebelum meninggal (antemortem) yang dibawa keluarga korban.
Hingga saat ini, tim Disaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri telah mengumpulkan dan memeriksa sebanyak 306 sampel DNA korban, dan telah mengumpulkan semua sampel DNA keluarga inti (anak atau orang tua) korban dari penumpang pesawat yang berjumlah 189 jiwa tersebut.
"Dari pemeriksaan 73 kantung jenazah kami berhasil kumpulkan sampel DNA totalnya 306 sampel, sementara 32 sisanya baru diambil untuk dimasukkan ke laboratorium. Sedangkan sampel keluarga sudah semua terkumpul," ujar Kepala Laboratorium DNA Pusdokkes Polri Kombes Pol Putut Tjahjo Widodo.
Sejak evakuasi pertama tanggal 29 Oktober, tim tersebut baru berhasil mengidentifikasi 14 jenazah korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610.
Jenazah korban yang teridentifikasi pertama, adalah seorang wanita asal Sidoarjo berusia 24 tahun bernama Jannatun Cintya Dewi, pada Rabu (31/10). Jannatun teridentifikasi lewat sidik jari tangan kanannya.
Pada 2 November 2018, teridentifikasi tiga jenazah lagi, yakni seorang pria 29 tahun bernama Candra Kirana yang teridentifikasi lewat tanda medis dan properti korban; jenazah selanjutnya seorang wanita berusia 41 tahun atas nama Monni yang teridentifikasi melalui tanda medis korban; jenazah ketiga, pria berusia 23 tahun bernama Hizkia Jorry Saroinsong yang teridentifikasi lewat sidik jari dan tanda medis.
Pada 3 November, kembali teridentifikasi tiga jenazah korban yakni jenazah seorang wanita berusia 20 tahun atas nama Endang Sri Bagusnita yang teridentifikasi lewat sidik jari dan tanda medis; jenazah kedua pria berusia 31 tahun atas nama Wahyu Susilo yang teridentifikasi lewat tanda medis dan properti yang digunakan; jenazah ketiga, pria berusia 25 tahun atas nama Fauzan Azima yang teridentifikasi melalui sidik jari dan tanda medis.
Pada 4 November 2018, ada tujuh korban yang teridentifikasi yakni laki-laki berusia 23 tahun bernama Rohmanir Pandi Sagala yang teridentifikasi lewat sidik jari dan tanda medis; jenazah kedua pria 40 tahun bernama Dodi Junaidi yang teridentifikasi melalui sampel DNA; jenazah ketiga seorang pria 29 tahun bernama Muhammad Nasir yang teridentifikasi melalui sampel DNA.
Selanjutnya, jenazah keempat berjenis kelamin pria 26 tahun atas nama Janry Efriyanto Sianturi yang teridentifikasi melalui sampel DNA dan tanda medis; jenazah kelima pria 68 tahun bernama Karmin yang teridentifikasi melalui sampel DNA; jenazah keenam pria 54 tahun atas nama Harwinoko yang teridentifikasi melalui sampel DNA; serta jenazah pria berusia 31 tahun bernama Verian Utama yang teridentifikasi melalui sampel DNA.
Pemeriksaan untuk identifikasi tersebut, mengacu pada data primer yakni sidik jari dengan kecocokan minimmi 12 titik, gerigi gigi dan sampel DNA yang ditambah oleh data sekunder seperti tanda operasi, tato khas, hingga properti yang dipakai korban sebagai penguat pemeriksaan.
"Jenazah bisa teridentifikasi itu pertama berdasarkan data primer, yakni sidik jari, gerigi gigi dan DNA. Setelah itu tanda sekunder yaitu tanda medis, contohnya tato, bekas operasi hingga properti yang digunakan korban dan dicocokkan dengan data antemortem dari keluarga dan data dari pihak lain. Ini jadi pedoman sesuai DVI Polri," kata Kepala Rumah Sakit Polri Raden Said Sukanto, Kombes Pol Musyafak.
Tantangan
Sebanyak 14 jenazah korban kecelakaan pesawat Lion yang baru teridentifikasi memang jauh di bawah jumlah total penumpang manifes yang berjumlah 189 penumpang, membuat proses identifikasi terkesan lambat.
Tim DVI mengakui banyak tantangan dalam mengidentifikasi jenazah korban. Kepala Bidang DVI Polri Kombes Pol Lisda Cancer mencontohkan tidak semua jenazah korban kecelakaan Lion Air itu dievakuasi dalam keadaan utuh, bahkan beberapa di antaranya memiliki ukuran minimal dan tidak bisa diperiksa rahang gigi dan sidik jarinya.
"Akhirnya harus diperiksa melalui sampel DNA. Namun itu kan tidak bisa sebentar, minimal membutuhkan waktu empat sampai lima hari," katanya.
Selain itu, waktu semakin molor karena di dalam kantong jenazah korban juga ada kemungkinan tercampur dengan jenazah lainnya, sehingga dibutuhkan pemisahan lebih dulu.
Kendati demikian, tim DVI menyebut data sekunder korban seperti tanda medis dan properti yang digunakan ketika berangkat juga bisa menjadi salah satu acuan jika data primer lainnya tidak bisa diperiksa, dengan catatan data tersebut harus sangat khas.
Dalam kasus identifikasi jenazah Monni misalnya, tim DVI menemukan korban memiliki tanda medis berupa tato di punggung kanannya yang khas yang hanya dimiliki oleh dia dilengkapi dokumen berupa sertifikat dari sang pembuat tato, sehingga bisa lebih cepat.
Namun Lisda menegaskan timnya tetap berpegang pada data primer, yakni DNA, baik dari sel tubuh atau yang tertinggal pada barang-barang korban seperti sisir dan sikat gigi dalam mengidentifikasi korban.
"Tapi DNA yang kami pegang, karena sangat meyakinkan. Namun lagi-lagi ini tidak sebentar, kami mengharapkan keluarga juga bersabar dan terus berdoa," tuturnya.
Pemerintah memperpanjang waktu evakuasi tiga hari terhitung mulai Senin (5/11). Dengan sisa waktu evakuasi yang akan selesai dalam tiga hari mendatang, tim DVI Polri pun berharap agar 175 jenazah korban yang belum teridentifikasi bisa dituntaskan.
Baca juga: Seluruh antemortem untuk pemeriksaan DNA korban terkumpul
Baca juga: Sang penolong pun ikut jadi korban JT 610
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018