Jakarta (ANTARA News) - Sorot matanya yang tajam tidak menampakkan kemurungan apalagi duka. Ia sudah bisa tertawa lepas dengan kawan-kawannya. Bermain dan membaur, melupakan semua duka yang pernah mengendap lebih dari satu bulan silam....Pas itu terbelah tanah, Papa masuk ke dalam tanah. Mama juga masuk ke dalam tanah. Lalu Papa Mama terjepit tanah. Papa lempar Putri keluar tanah. Putri lari sama kakak. Semua gelap
Kini, tiap siapapun yang menyapa, senyumannya pun segera merekah. Pertama melihat, dipastikan segera jatuh hati dengan senyumnya.
Sembari mengulurkan tangan, ia mengenalkan diri dengan nama Nurul Aprilia Putri Wantania (8), seorang anak yang tangguh hatinya, berasal dari Perumnas Balaroa, perumahan yang habis diremukkan fenomena likuefaksi di Kota Palu.
Putri, begitu ia dikenal di antara teman-teman sebayanya di Desa Enu, Kecamatan Sindue. Meski Putri bukan bocah asal Desa Enu, semua anak-anak penyintas gempa di Desa Enu kenal dengan Putri. Sudah sebulan lebih Putri dan kakak kandungnya, Muhammad Arya Andika Pratama Wantania, tinggal bersama tantenya, Mahdiyah (44), di Enu.
Sang Tante kini menjadi pengganti orang tua Putri dan Arya. Mereka memulai kembali lembaran baru di titik nol, bangkit dari duka mendalam sejak hari nahas itu, Jumat (28/9).
Dengan wajah yang lugu, Putri membuka ceritanya.
"Mama deng (dengan) Papa saya lagi di surga," ucapnya.
Selamat dari likuifaksi Balaroa
Sore itu, Jumat (28/9), adalah momen yang tak mungkin dilupakan oleh Putri, momen di mana ia berpisah selama-lamanya dengan kedua orangtuanya. Putri bercerita, menjelang Magrib di hari duka itu, ia dan papanya berada di luar rumah, sementara kakaknya dan mamanya sedang di dalam rumah.
"Waktu itu saya deng Papa sedang main di luar rumah. Putri lalu diminta Papa ke warung beli sabun sampo. Langsung gempa datang. Papa gendong Putri. Pas itu terbelah tanah, Papa masuk ke dalam tanah. Mama juga masuk ke dalam tanah. Lalu Papa Mama terjepit tanah. Papa lempar Putri keluar tanah. Putri lari sama kakak. Semua gelap,” cerita Putri mengenang momen terakhir kedua orang tuanya.
Sejak kejadian itu, Putri dan kakanya, Arya, benar-benar berpisah selamanya dengan kedua orang tua mereka. Rumah Putri pun remuk tak karuan digulung likuifaksi Perumnas Balaroa. Tidak ada lagi yang tersisa dari rumah Putri selain puing, aspal yang terlipat, tanah terbelah, dan kehancuran luar biasa. Diperkirakan likuefaksi meremukkan ribuan rumah di Balaroa.
Enam hari kemudian, jenazah kedua orang tua Putri akhirnya berhasil ditemukan dan dievakuasi. Mama dan papa Putri termasuk salah satu dari ratusan korban meninggal yang ditemukan di area likuefaksi Perumnas Balaroa.
Beberapa hari dalam tenda pengungsian di sekitar Balaroa, Mahdiyah lalu membawa Putri dan Arya mengungsi jauh dari Kota Palu. Mereka memilih Desa Enu di Sindue, berjarak sekira satu jam lebih perjalanan dari Kota Palu untuk mengungsi.
"Di Desa Enu, Kecamatan Sindue ada banyak keluarga mamanya Putri. Sementara di sini dulu menunggu semua trauma hilang," ujar Mahdiyah.
Seragam baru
Hampir 40 hari setelah wafatnya Papa dan Mama Putri di Balaroa, Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) Posko Sindue singgah ke Desa Enu.
Kepada Tim ACT, Putri mengatakan ingin berziarah ke makam kedua orang tuanya di Kota Palu. Mobil pun disiapkan, Putri dan Arya ditemani Mahdiyah diantar menuju Kota Palu. Selain berziarah, Putri juga mengatakan ingin membeli seragam sekolah, jilbab, dan sepatu. Semua baju dan peralatan sekolah Putri tak ada yang tersisa, habis digulung likuefaksi.
Selasa (6/11) seharian penuh, Tim ACT menemani Putri berkeliling Kota Palu. Mulai dari ziarah ke makam kedua orang tuanya sampai makan bakso dan membeli kebutuhan sekolah Putri.
"Aku habis ziarah ke makam Papa deng Mama. Makamnya di satu liang. Di Perkuburan Lasoani. Papa dan Mama sudah di surga sekarang," kata Putri, dikutip Antara.
Akbar, relawan ACT yang mengantar Putri dari Sindue menceritakan, hari itu banyak sekali yang sayang Putri dan Sang Kakak, Aria. Seharian penuh, Akbar membawa Putri, Arya, dan Sang Tante melengkapi kebutuhan sekolah. Lorong pasar dijelajahi, sampai mampir ke pedagang bakso langganan Putri dengan papa dan mamanya.
"Kami ajak Putri makan bakso. Kami belikan Putri dan Arya seragam sekolah baru, sepatu, tas, jilbab, juga mainan baru. Masih banyak yang sayang dengan Putri. Bahkan, Toko Seragam Sekolah Tiga Jaya di Jl. Sungai Lewara Kota Palu kasih gratis alat tulis dan tas baru untuk Putri. Alhamdulillah," cerita Akbar.
Sampai lewat Magrib, Putri, Arya, dan Mahdiyah kembali diantar pulang ke Sindue. Perjalanan pulang satu jam lebih, Putri tertidur dalam lelapnya di kursi tengah. Sang Tante, Mahdiyah, tak henti mengelus rambut Putri.
"Insya Allah nanti kalau akte kematian Papa dan Mama Putri sudah terbit, saya mau bawa Putri kembali ke Palu. Supaya Putri dan Arya bisa sekolah lagi. Saya selalu bilang ke Putri doakan Mama setiap habis sembahyang. Putri harus mau sekolah lagi, tidak usah patah hati. Putri harus ceria terus. Selalu salat dan mengaji,” pungkas Mahdiyah.
Tiba mengantar pulang Putri ke Desa Enu, Tim ACT berpamitan dengan Putri. Walau hari sudah hampir larut malam, Putri tidak henti meluapkan senyumya, tanda duka sudah hampir hilang dari raut wajahnya.
Sembari bergelayut di gendongan Mahdiyah, Putri melambaikan tangan. “Besok main lagi ke Enu ya, Kak, nanti 40 hari wafat Papa dan Mama, Putri mau kirim doa,” pungkasnya dengan senyum.
Baca juga: Pemerintah siapkan beasiswa mahasiswa korban gempa Sulteng
Baca juga: ACT siapkan hunian sementara untuk warga Palu
Pewarta: Antara
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018