Pelaku harus siap hadapi ancaman Industri 4.0

11 November 2018 11:59 WIB
Pelaku harus siap hadapi ancaman Industri 4.0
Menteri Riset, Tekhnologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Muhamad Nasir memberikan kuliah umum di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (8/11/2018). Dalam kuliah umum bertema Peran Perguruan Tinggi Menuju Revolusi Industri 4.0 itu, Menristekdikti meminta kampus untuk lebih kompetitif dalam penguatan riset dan inovasi. (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/pras.)

Orang dalam juga menjadi ancaman, karena menurut kami ada kesenjangan antara pengetahuan karyawan dan perkembangan keamanan siber.

Jakarta (ANTARA News) - Pemerhati teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Yudhi Kukuh mengatakan pelaku harus siap menghadapi ancaman dunia maya (Industri 4.0).

"Kalau dulu pelaku kejahatan siber membuat virus untuk kebanggaan, tetapi sekarang untuk mendapatkan data dan uang," ujar Yudhi di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, bisnis, baik besar maupun kecil, akan menjadi sasaran kejahatan siber dan diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Tantangan revolusi industri 4.0 tidak hanya bagaimana mengawinkan produksi dan operasi fisik dengan teknologi digital cerdas, mesin pembelajaran, dan big data untuk menciptakan ekosistem yang lebih holistik, tetapi juga bagaimana membangun sistem keamanan terpadu melawan ancaman eksternal dan internal.

Berdasarkan data Ponemon Institute menyebutkan rata-rata kerugian akibat pelanggaran data secara global mencapai 3.86 juta Dolar AS pada 2018 atau meningkat 6,4 persen dari 2017.

"Ada beberapa tantangan yang akan dihadapi perusahaan pada saat ini, yakni menjadi target serangan, ransomware, dan juga orang dalam," jelas dia.

Dia menyebut industri manufaktur adalah yang paling ditargetkan untuk serangan siber. Industrial Control System (ICS) atau Supervisory Control And Data Acquisition (SCADA) adalah perangkat lunak yang paling sering digunakan dalam industri manufaktur, infrastruktur dan berbagai bidang lain merupakan titik terlemah dalam sistem keamanan perusahaan.

Contoh kasusnya adalah serangan malware BlackEnergy (2015) dan Industroyer (2016) yang memadamkan listrik di Ukraina atau serangan Stuxnet di Iran.

Kemudian untuk ransomware masih menjadi ancaman paling menakutkan di dunia siber. Berdasarkan laporan Verizon 2018 mengatakan bahwa 56 persen insiden malware melibatkan ransomware sehingga menjadikannya sebagai bentuk malware yang paling umum.

"Orang dalam juga menjadi ancaman, karena menurut kami ada kesenjangan antara pengetahuan karyawan dan perkembangan keamanan siber," jelas Yudhi yang juga konsultan teknik Prosperita ESET Indonesia.

Akar masalah dari kerentanan 52 persen berasal dari kesalahan karyawan yang dilakukan secara tidak sengaja, seperti salah dalam menyalin data, salah kirim data, meninggalkan komputer dalam keadaan terbuka saat tidak dipakai, dan lain-lain.

Sementara, Ponemon Institute dalam studinya di tahun ini mengatakan bahwa satu dari empat kebocoran data disebabkan oleh orang dalam yang dilakukan dengan sengaja dengan motivasi finansial, spionase dan persaingan bisnis.*

Baca juga: Indonesia gandeng negara Asia Pasifik akselerasi industri 4.0

Baca juga: Negara-negara Asia Pasifik siapkan rencana aksi bersama Industri 4.0




 



 

Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018