Dengan pelonggaran ini, kewajiban bank untuk memenuhi GWM harian berkurang menjadi sebesar 3,5 persen dari sebelumnya 4,5 persen, dan sisanya yakni tiga persen dipenuhi per periode dua pekan.
"Kami menaikkan porsi pemenuhan GWM Rupiah Rerata (GWM Averaging) untuk konvensional dan syariah dari dua menjadi tiga persen," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Kamis.
Baca juga: BI naikan bunga acuan jelang pengetatan moneter global
Perry mengklaim pelonggaran ini dilakukan bukan karena industri perbankan yang menderita pengetatan likuiditas. Dari indikator AL/Dana Pihak Ketiga, dia mengklaim, kondisi likuiditas industri perbankan masih memadai.
Namun, kata Perry, pelonggaran GWM ini lebih tertuju agar antara perbankan atau antara kelompok perbankan lebih leluasa dan fleksibel dalam mengelola likuiditasnya, termasuk di pasar uang antarbank.
"Kami mencermati likuiditas antarbank, untuk memberikan felksibilitas, untuk itu kami keluarkan ketentuan pelonggaran GWM dan juga Penyangga Likuiditas Makroprudensial," ujar dia.
GWM-Primer rupiah merupakan kewajiban simpanan minimum bank dalam rupiah di giro BI. Dengan konsep "GWM-P Averaging" atau perhitungan rerata GWM, BI akan menghitung dana milik bank yang diwajibkan untuk disimpan di giro Bank Indonesia secara rata-rata per periode.
Pada Juni 2018 lalu, BI sebenarnya sudah melonggarkan porsi yang dihitung rata-rata sebesar dua persen dari total GWM-P Averaging 6,5 persen.
Selain meningkatkan rasio rerata GWM Primer, BI juga meningkatkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial/PLM untuk konvensional dan syariah yang dapat direpokan ke Bank Sentral dari dua persen menjadi empat persen, masing-masing dari Dana Pihak Ketiga (DPK).
"Dan rasio PLM dinaikan menjadi empat persen dari dua persen. Sekarang seluruhnya empat persen dari Dana Pihak Ketiga itu dapat digunakan untuk 'underlying' repo antarbank," ujar Perry.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2018