Jakarta (ANTARA News) - Berbagai pihak mulai dari rumah sakit, dokter dan masyarakat harus bergerak bersama-sama untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik pada bakteri yang bisa menimbulkan bahaya lebih besar yaitu penyakit yang sulit disembuhkan.Antibiotima diberikan kalau kita ada infeksi bakteri
Dalam diskusi untuk menyambut Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia pada 12-18 November di RS Universitas Indonesia, Kamis, berbagai pihak dari Direktur RSUI, produsen obat PT Pfizer Indonesia (Pfizer), dan Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) menegaskan kembali perlunya komitmen bersama dalam mengimplementasikan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di Indonesia.
Komitmen terhadap pelaksanaan PPRA sangat penting untuk membantu mencegah dan memerangi ancaman kesehatan masyarakat global akibat resistensi antibiotik.
Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) dr Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K) mengaskan pentingnya mengimplementasikan upaya penatalaksanaan antibiotik untuk mengendalikan resistensi antibiotik.
Aturan pengendaliannya tercantum dalam Permenkes Nomor 8 Tahun 2015 yang mewajibkan setiap rumah sakit memiliki Tim PPRA dan menerapkan program pengendalian antibiotik di rumah sakit masing-masing.
"Tantangannya sekarang adalah, bagaimana semua komunitas kesehatan, terutama manajemen rumah sakit, agar secara konsisten mengimplementasikan aturan ini di lapangan," kata Anis.
Dia menerangkan dari sekitar 2.500 rumah sakit yanh ada di Indonesia, tidak sampai setengahnya yang memiliki tim PPRA.
Direktur Umum RSUI Dr dr Budiman Bela, Sp.MK mengatakan RSUI akan membentuk tim PPRA seiring rumah sakit tersebut mulai beroperasi pada Desember 2018.
Tim tersebut terdiri dari berbagai dokter spesialis lintas bidang dan tenaga kesehatan lainnya, yang juga akan difasilitasi laboratorium dengan teknologi terbaru untuk mengidentifikasi suatu sebab penyakit.
Sementara pencegahan resisten antibiotik dari dokter harus dilakukan dengan tidak memberikan obat antibiotik pada pasien dengan penyakit yang tidak disebabkan oleh infeksi bakteri.
Dokter Erni Juwita Nelwan Ph.D, Sp.PD-KPTI yang merupakan konsultan penyakit tropik infeksi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengatakan pada dasarnya kurikulum pendidikan kedokteran dan praktik klinis selalu diupayakan agar para dokter memahami antibiotik bukan obat symptomatic.
"Untuk meresepkannya harus paham ada diagnosis infeksi bakteri dulu. Dokternya harus memiliki kemampuan diagnosis infeksi bakteri atau bukan secara baik sehingga bisa menulis resepnya dengan tepat," kata Erni.
Dia mengatakan PAMKI telah berupaya secara terus menerus menyadarkan dokter klinisi di rumah sakit untuk tidak memberikan antibiotik kalau masalah infeksinya bukan bakteri.
Sejalan dengan hal itu, Erni juga mengingatkan kepada masyarakat agar tidak sembarang mengonsumsi antibiotik atau bahkan meminta dokter meresepkannya.
"Harus edukasi masyarakat bahwa antibiotika bukan obat batuk, bukan obat lemas, bukan obat sakit kepala. Antibiotima diberikan kalau kita ada infeksi bakteri," kata Erni.
Dia menerangkan penyakit seperti demam berdarah dan malaria tidak diberikan obat antibiotik karena bukan disebabkan oleh bakteri.
Bahkan untuk kasus diare yang disebabkan oleh parasit, kata Erni, tidak diberikan antibiotik melainkan antiparasit.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018