• Beranda
  • Berita
  • Peneliti INDEF kritisi Paket Kebijakan Ekonomi XVI

Peneliti INDEF kritisi Paket Kebijakan Ekonomi XVI

16 November 2018 15:44 WIB
Peneliti INDEF kritisi Paket Kebijakan Ekonomi XVI
Menko Perekonomian Darmin Nasution didampingi sejumlah menteri merilis tiga kebijakan dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI di Kantor Presiden Jakarta, Jumat. (ANTARA News/Agus Salim)

...defisit APBN berpotensi melebar dan akhirnya harus menambah utang baru...

Jakarta (ANTARA News) - Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengkritisi Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang baru saja diterbitkan pemerintah di Kompleks Istana Kepresidenan Jumat pagi ini.

Paket Kebijakan Ekonomi XVI sendiri mencakup perluasan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan (tax holiday), relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan peningkatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) hasil sumber daya alam.
 
Menurut Abra, terkait insentif tax holiday untuk PPh Badan, sebetulnya bukan hal baru yang dikeluarkan pemerintah. Kebijakan insentif pajak yang bisa juga disebut sebagai belanja perpajakan (tax expeditures),  punya konsekuensi berupa hilangnya potensi penerimaan pajak. 

Merujuk ke hasil estimasi Kemenkeu, potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kebijakan tax holiday pada tahun 2016 dan 2017 masing-masing sebesar Rp143,59 triliun dan Rp154,66 triliun.        

Abra mempertanyakan langkah antisipasi Pemerintah dengan potensi penerimaan pajak yang hilang pada tahun 2019 dan tahun-tahun sesudahnya. Padahal, realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2018 saja baru 71,39 persen dari target.

"Artinya, potensi shortfall pajak akan semakin besar dan pemerintah semakin kewalahan untuk memenuhi kebutuhan anggaran belanja. Konsekuensinya, defisit APBN berpotensi melebar dan akhirnya harus menambah utang baru," ujar Abra kepada Antara di Jakarta, Jumat.

Selain itu, lanjutnya, Pemerintah juga masih punya "pekerjaan rumah" (PR) besar untuk meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia yg masih di level 10-11 persen. Sebab jika tax ratio tidak bisa dinaikkan sampai angka 15 persen misalnya, maka Indonesia akan semakin sulit untuk membayar utang dan menyebabkan sustainabilitas fiskal terancam.

Baca juga: Kemenkeu segera laksanakan Paket Kebijakan Ekonomi XVI

Kedua, terkait kebijakan relaksasi DNI, menurut Abra pemerintah harusnya terlebih dahulu berdiskusi kepada pihak-pihak terkait termasuk legislatif mengenai sektor mana saja yang akan dibuka. Jangan sampai sektor-sektor strategis dan vital turut dibuka seperti bandara dan pelabuhan.

"Lagipula, untuk menarik investor asing tidak cukup hanya dengan membuka DNI, tetapi jauh lebih penting adalah iklim investasi yang kondusif terutama permasalahan perizinan, birokrasi, dan korupsi," kata Abra.

Baca juga: Industri pengolahan dan ekonomi digital kini peroleh "tax holiday"

Ketiga, terkait kewajiban menyimpan DHE di sistem keuangan Indonesia (SKI), Abra menilai sebetulnya juga sudah bukan barang baru lagi karena sudah pernah diimbau oleh pemerintah dengan pemberian insentif. 

"Tantangannya saat ini, apakah pemerintah betul-betul berani menegakkan sanksi kepada setiap perusahaan  baik pertambangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, yang masih melawan aturan tersebut. Pemerintah tentunya akan menghadapi ancaman balik berupa penurunan ekspor produk-produk terkait yang berimbas pada tekanan defisit transaksi berjalan dan stabilitas nilai tukar rupiah," kata Abra.

Baca juga: Pemerintah rilis tiga relaksasi kebijakan untuk ketahanan ekonomi nasional

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2018