Karena dia menilai selama ini masih ada dua aktor pelanggaran toleransi yaitu negara dan kelompok non-negara seperti organisasi kemasyarakatan intoleran.
"Kita harus lebih serius atasi persoalan intoleransi dan kebebasan. Saya ingin laporan yang disampaikan Setara Institute tidak hanya sekedar laporan namun dilaksanakan," kata Guntur Romli dalam diskusi bertajuk "Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Dinamika Pilpres 2019" yang diselenggarakan Setara Institute, di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan aktor negara yang melakukan pelanggaran toleransi direpresentasikan oleh Kepolisian dan pemerintah daerah (pemda) melalui penerbitan Peraturan Daerah (perda) yang diskriminatif terhadap agama tertentu.
Guntur menjelaskan pelaku pelanggaran toleransi non-negara yaitu ormas lakukan tindakan intoleran dan kekerasan yang terkait dengan kelompok radikal dan mengganggu kebebasan beragama.
Menurut dia, kejadian intoleransi pada dasarnya karena ada persoalan kebijakan diskriminatif dan mendasari aksi intoleransi karena pemerintahan lalu tidak berani mengoreksi karena alasan elektoral.
"Misalnya peraturan bersama dua menteri dan kejaksaan soal rumah ibadah yang terbit di era SBY dan saat ini Jokowi tidak berani cabut aturan diskriminatif tersebut," katanya.
Guntur yang merupakan anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf itu menyoroti kebijakan Perda terkait seruan tentang kewajiban baca Al Quran dan solat berjamaah.
Dia menilai para politisi enggan mengutak-atik aturan yang bersifat diskriminasi karena ingin membangun citra positif di masyarakat.
"Gara-gara aturan itu, solat menjadi syirik karena takut kepada Satpol PP kalau tidak dilakukan dan takut jenjang karirnya terhambat apabila tidak mengikuti kebijakan tersebut," katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018