Mataram (ANTARA News) - Dosen pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, menilai putusan Mahkamah Agung terhadap Baiq Nuril, guru honorer SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, korban pelecehan namun terjerat UU Informasi Transaksi Elektronik, sangat bertentangan dengan asas hukum.Selain itu, kejaksaan juga harus lebih bijaksana jangan terburu-buru mengeksekusi."
Melihat putusan hakim kasasi kasus Nuril membuat kontroversi yang awalnya Nuril sebagai korban malah kini menempatkan Nuril sebagai terdakwa dan dijatuhi pidana, ini adalah potret buruk hukum sangat bertentangan dengan asas hukum dan tujuan hukum yang menempatkan rasa keadilan bagi masyarakat, katanya kepada Antara di Mataram, Jumat.
Baiq Nuril dilaporkan oleh kepala sekolah SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat bernama Muslim ke polisi atas tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik berisi konten asusila yang telah diputus hakim kasasi melanggar Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE dan dihukum 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan penjara.
Putusan tingkat pertama Baiq Nuril divonis bebas karena tidak terbukti melakukan pelanggaran UU ITE.
Nuril sendiri diketahui melakukan perekaman perbincangan atasannya itu untuk menghindari pelecehan yang dilakukan oleh pimpinannya.
Oleh karena itu, dia meminta tim advokasi hukum Nuril harus melakukan upaya hukum luar biasa berupa PK (peninjauan kembali), mengingat reaksi publik yang makin merasakan terganggunya rasa keadilan masyarakat saat ini.
Tim advokasi harus menyisir fakta dan bukti secara jika perlu memperluas dengan melibatkan civitas academica, khususnya terhadap makna unsur tanpa hak dan dengan unsur sengaja dalam Pasal 27 UU ITE.
Menurut dia, sangat jelas bahwa motivasi Nuril melakukan itu guna membuktikan bahwa atasan Nuril yang melakukan perbuatan tercela.
"Hakim kasasi gagal fokus pada pembuktian dan kausalitas kejahatan ini. Jadi, yang jadi pintu kejahatannya adalah perbuatan pimpinan di unit bekerjanya Nuril inilah muasal kejahatan," katanya.
Seharusnya, kata dia, kewenangan dan perintah UU kekuasaan kehakiman, majelis hakim lebih berani menggali hukum dan fakta, termasuk dalam hal ini menemukan hukum jika mengacu pada Pasal 191 KUHAP.
Nuril semestinya bebas atau lepas dari tuntutan hukum bukan pula dijatuhi hukuman pidana.
Selanjutnya, PK dapat dilakukan dengan mengacu pada Pasal 263 KUHAP.
PK dapat diajukan jika memang hakim tidak teliti atau ada kekeliruan yang nyata atau ada perbuatan dalam pembuktian yang saling bertentangan, yakni dalam hal ini bagaimana posisi seorang dari sebuah peristiwa yang korban dijadikan sebagai terdakwa.
"Selain itu, kejaksaan juga harus lebih bijaksana jangan terburu-buru mengeksekusi," katanya.
Baca juga: Presiden diminta turun tangan dalam kasus Baiq Nuril
Baca juga: Rieke Diah Pitaloka beri dukungan untuk Baiq Nuril Maknun
Baca juga: Wakil wali kota Mataram siap jamin Baiq Nuril Maknun
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018