• Beranda
  • Berita
  • Maarif Institute sayangkan kriminalisasi Grace Natalie

Maarif Institute sayangkan kriminalisasi Grace Natalie

17 November 2018 22:11 WIB
Maarif Institute sayangkan kriminalisasi Grace Natalie
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie memberikan keterangan pers terkait sikap partai pada Pemilihan Presiden 2019 di Jakarta, Sabtu (11/8/2018). PSI menganggap cawapres ideal bagi Joko Widodo adalah Mahfud MD, tapi dengan hasil keputusan bersama koalisi partai pendukung yang menetapkan Ma'ruf Amin sebagai cawapres, PSI tetap mendukung petahana Joko Widodo pada Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww/18.

Perda berbasis agama merupakan satu penonjolan identitas keagamaan tertentu yang sangat potensial bermuatan diskriminatif...Politik Identitas dengan menggunakan identitas agama tertentu telah bangkit dan itu berpotensi memecah belah keutuhan bangsa."

Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhd Abdullah Darraz menyayangkan kriminalisasi Grace Natalie oleh Eggy Sudjana yang menolak perda keagamaan di beberapa daerah.

"Apa yang dilakukan Eggy Sudjana itu menampilkan model politisi yang tidak siap dengan perbedaan pendapat," kata Darraz di Jakarta, Sabtu.

Menurut dia, seharusnya dalam persoalan penolakan ditanggapi dengan diskusi dan adu argumen terhadap pandangan yang menolak perda-perda keagamaan, tidak lantas dibawa ke ranah hukum. 

Dia mengatakan upaya pelaporan yang dilakukan oleh Eggy Sudjana terkait pernyataan Ketua Umum PSI Grace Natalie merupakan langkah yang tidak tepat.

Hal itu, kata dia, memperlihatkan ketidaksiapan melakukan diskursus publik tekait isu tersebut.

"Sepatutnya, dengan adanya lontaran penolakan 'perda agama' ini harus dijadikan momentum mencerdaskan publik dan menciptakan diskursus publik yang sehat. Bukan malah dikriminalisasi melalui proses hukum," katanya.

Perda-perda bernuansa keagamaan, kata dia, merupakan wujud salah kaprah terhadap sila pertama Pancasila.

"Saya sepakat bahwa Pancasila yang memuat sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus ditafsirkan dengan perspektif kebangsaan yang luas, yang bisa memayungi semua anak bangsa dan tidak digiring pada penafsiran keagamaan tertentu secara eksklusif," kata dia.

Oleh karena itu, Darraz mengatakan upaya memunculkan perda-perda keagamaan itu merupakan sebuah "kesalahan penafsiran" atas Pancasila sila Pertama.

"Perda berbasis agama merupakan satu penonjolan identitas keagamaan tertentu yang sangat potensial bermuatan diskriminatif. Kita menyaksikan akhir-akhir ini Politik Identitas dengan menggunakan identitas agama tertentu telah bangkit dan itu berpotensi memecah belah keutuhan bangsa," kata dia.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018