Pekanbaru (ANTARA News) - Rabu pagi (14/11), ponsel Suharyono tak berhenti berdering. Peristiwa langka dan besar baru saja terjadi, yang dia sadari membutuhkan penanganan tepat dan cepat. Jika gagal, maka kecaman diyakini tak akan berhenti mengalir kepada dirinya.Konflik satwa liar dengan manusia semakin lama sulit dihindari karena kepentingan yang sama di atas lahan yang dulunya menjadi habitat satwa namun sekarang menjadi lahan yang dikuasai manusia baik sebagai kebun atau pun permukiman.
Sebuah telepon singkat dari anggotanya menyebutkan ada seekor harimau sumatera yang masuk ke kawasan pasar Kecamatan Pulau Burung, Kabupaten Indragiri Hilir. Sebuah peristiwa yang sangat langka dan unik. Harimau itu masuk ke pasar, dan celakanya terjebak di sela-sela gedung rumah toko.
Kejadian itu terang saja mengundang perhatian ratusan warga yang pagi itu sedang sibuk berbelanja memenuhi kebutuhan dapur warga setempat.
Dengan cepat informasi menyebar, melalui media sosial dan pesan singkat. Dari foto-foto yang menyebar, harimau itu seolah tak berdaya dan sorot matanya ingin memberitahukan sesuatu kepada warga, bahwa dia tak lagi punya rumah dan tempat jelajah yang semestinya. Dia seolah ingin memberitahu bahwa dia membutuhkan pertolongan.
Pulau Burung sendiri berada cukup jauh dari Pekanbaru, tempat tim lengkap evakuasi harimau berada. Suharyono sadar, jika dia mengandalkan timnya untuk langsung ke lokasi tersebut, sedikitnya dibutuhkan waktu hingga 10 jam perjalanan darat dan tiga jam perjalanan menyusuri sungai.
Untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, mantan kepala BBKSDA Bali tersebut langsung menghubungi koleganya di Pulau Burung. Aparat TNI, Polri dan Kecamatan satu persatu dihubungi. Pesannya hanya satu, sosialisasi ke warga agar jangan menghabisi nyawa harimau jantan malang tersebut.
Perasaan khawatir Suharyono sangat berdasar, karena dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah ternak warga ditemukan mati. Kabar berhembus, si raja rimba itu lah tersangka utamanya. Beberapa dari warga melihat langsung harimau tersebut saat menyerang ternak dan beberapa di antaranya menemukan jejak kakinya.
Selain itu, dengan penuh harapan dia meminta agar aparat bersama dengan perwakilan BBKSDA Riau yang jumlahnya tidak seberapa di daerah itu untuk langsung melokalisasi wilayah pasar.
Gayung bersambut, dengan bergandengan tangan tim gabungan TNI, Polri, unsur kecamatan dan warga serta perwakilan BBKSDA Riau mulai memasang jaring, dengan harapan harimau itu tidak pergi dari pasar dan bisa langsung diselamatkan.
Pada hari yang sama, BBKSDA Riau langsung mengerahkan sebanyak 11 personel yang terdiri dari tiga orang medis serta penembak bius. Kepala Bidang KSDA Wilayah II Mulyo Hutomo menjadi pimpinan evakuasi tersebut.
Keesokan harinya, dua tim lengkap BBKSDA Riau tiba di Pasar Pulau Burung. Kamis siang, tim penembak bius yang berpengalaman menangani kasus Bonita pada awal tahun ini langsung bergerak. Mencari titik teraman dan tepat untuk melumpuhkan sementara si kucing belang malang itu.
Beberapa waktu kemudian, harimau itu berhasil dilumpuhkan. Akan tetapi, di luar dugaan petugas, harimau itu justru kabur ke kolong-kolong Ruko kawasan pasar tersebut.
Tentu saja pekerjaan menangkapnya menjadi semakin sulit. Kebanyakan bangunan di kawasan Pasar Pulau Burung konstruksinya mempunyai kolong-kolong dengan tiang beton sebagai penyangga bangunan.
Tinggi kolong hanya berkisar antara setengah meter. Hal itu ditujukan untuk mengantisipasi banjir baik akibat air pasang atau rob maupun meningkatnya intensintas hujan di wilayah itu.
"Karena situasi dan lokasi yang tidak memungkinkan untuk mengevakuasi," kata Suharyono ketika dihubungi Antara pada Kamis petang pekan kemarin.
Dari resonansi suaranya, Suharyono jelas sangat khawatir dengan kondisi tersebut. Namun dia memastikan bahwa harimau dalam kondisi sehat dan tim masih terus bekerja keras. Dia mengatakan selain keberadaan harimau semakin sulit dijangkau petugas, keberadaan ratusan warga yang setiap hari menyaksikan proses evakuasi harimau juga menjadi kendala tersendiri.
"Kita akan kembali lakukan penembakan ke dua. Tapi nanti setelah semuanya dipastikan aman dan tenang," katanya setelah pada hari kedua proses evakuasi belum berhasil dilakukan.
Memasuki hari ketiga, tim BBKSDA Riau mulai mengubah alur pencarian. Penembakan harimau tak dapat lagi dilakukan dari sisi-sisi kolong Ruko melainkan terpaksa harus menjebol lantai beton bangunan tersebut. Beruntung, pemilik Ruko yang bernama Johari mengizinkan upaya itu. Dari penjebolan lantai ruko, harimau itu kembali terdeteksi dengan jelas.
BBKSDA Riau kemudian memberikan daging ayam agar harimau itu tetap bertahan hidup. Meski telah berhasil ditemukan kembali, tim tidak langsung melakukan pembiusan. Baru pada Minggu dinihari (17/11) sekitar pukul 02.30 WIB, penembakan bius dilakukan. "Kenapa dinihari? karena saat itulah tidak banyak warga dan menurut kami waktu yang tepat," ujarnya.
Langkah itu terbukti benar ketika harimau benar-benar tertidur dan tim yang sebelumnya membuat lubang-lubang kecil di lantai ruko menjebolnya lebih luas.
"Ukurannya kira-kira cukup dengan badan harimau itu," ujarnya.
Kurang dari satu jam, tim berhasil mengevakuasi harimau jantan berusia tiga tahun dengan berat 90 kilogram tersebut.
Mamalia itu pun dimasukkan ke dalam kandang besi yang telah disiapkan sebelumnya dan langsung dibawa ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya, Sumatera Barat.
Di PHRS yang dikelola Yayasan Arsari Djohohadikusumo itu, harimau tersebut akan bergabung dengan Bonita, harimau betina dewasa berusia empat tahun yang juga berasal dari Indragiri Hilir.
Sejumlah Luka.
Harimau tersebut dikirim ke Dharmasraya karena hingga saat ini Provinsi Riau belum memiliki fasilitas PHRS sendiri. Selain itu, secara geografis Kabupaten Indragiri Hilir juga lebih dekat dengan Provinsi Sumatera Barat.
Satwa langka itu akan menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan, karena tim penyelamat melihat banyak luka di tubuhnya.
Luka tersebut di antaranya pada bagian kaki kiri depan. Menurut analis tim medis luka itu akibat jeratan. Analisis sementara itu diperkuat dengan temuan luka pada bagian tubuh lainnya seperti pada kaki kanan bagian belakang.
Selain itu, tim medis menemukan adanya struktur gigi dan taring yang retak.
Diduga retaknya taring dan beberapa lainnya struktur gigi tersebut akibat berupaya melepaskan diri dari jeratan dengan cara menggigit jerat.
"Kemungkinan karena mengigit jerat biasanya," katanya menduga.
Namun, Suharyono belum menjelaskan lebih banyak perihal adanya dugaan jerat harimau di kawasan tersebut. Saat ini dia mengatakan timnya masih fokus pada proses evakuasi dan pengobatan satwa malang itu.
Lebih jauh, ia juga menduga bahwa harimau tersebut berasal dari kawasan semak belukar yang berlokasi tidak jauh dari pasar tersebut. Tidak jauh dari kawasan pasar terdapat kawasan semak belukar seluas empat hektare yang selama ini dikenal sebagai salah satu tempat persembunyian harimau.
Akan tetapi, kawasan semak belukar seluas empat hektare itu bukan merupakan tempat yang cukup luas bagi seekor harimau yang memiliki daya jelajah sangat luas. Selain itu, Haryono juga menduga jika harimau itu tersesat ke pasar akibat kekurangan sumber makanan di habitatnya yang sempit tersebut.
Kabupaten Indragiri Hilir dalam setahun terakhir tak lepas dari berita kemunculan harimau. Bonita, harimau betina dewasa mengawali berita kemunculan si raja rimba itu di Indragiri Hilir awal Januari 2018 lalu.
Bonita menjadi perhatian publik setelah proses pencarian dan relokasinya memecah rekor sebagai proses pencarian dan penangkapan terlama di Indonesia. Butuh waktu tiga bulan sebelum harimau itu benar-benar berhasil ditangkap tim gabungan BBKSDA Riau, TNI dan Polri. Selama proses pencarian itu pula, Bonita telah menewaskan tiga manusia.
Pada September 2018, harimau kembali muncul di Indragiri Hilir yang kala itu menerkam tiga ekor ternak warga. Pasca kejadian, tim gabungan langsung turun untuk memasang perangkap dan kamera pengintai. Tim patroli juga diturunkan namun tak kunjung membuahkan hasil.
Harimau Sumatra juga tak luput dari pembunuhan. Di Kabupaten Kuantan Singingi, atau kabupaten tetangga Indragiri Hilir pada akhir September 2018 lalu seekor harimau betina dalam keadaan bunting ditemukan mati terjerat.
Aktivis lingkungan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) sudah menduga munculnya konflik harimau dengan manusia karena perubahan bentang alam yang massif di habitat satwa belang itu.
Jikalahari menyayangkan kinerja pemerintah pusat dan daerah yang terkesan lamban dalam melakukan review AMDAL dan izin lingkungan korproasi hutan tanaman industri (HTI) dan sawit terutama di lansekap Kerumutan, salah satu rumah harimau.
Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah menyatakan, konflik satwa dan manusia banyak terjadi disebabkan terganggunya habitat satwa oleh aktivitas konsesi HTI dan perusahaan sawit. Jikalahari menilai, konflik akan terus terjadi selama pemerintah belum serius melakukan evaluasi dan pemulihan Kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan.
Lansekap Kerumutan salah satunya terdiri atas Kawasan Suaka Margasatwa berada di Kabupaten Pelalawan, Indaragiri Hulu dan Indragiri Hilir, dengan luas sekitar 120.000 hektare. Saat ini, lansekap itu hanya menyisakan KSM Kerumutan dengan luas sekitar 93.000 hektare, sebagai satu-satunya lokasi konservasi bagi satwa liar di kawasan tersebut.
Konflik satwa liar dengan manusia semakin lama sulit dihindari karena kepentingan yang sama di atas lahan yang dulunya menjadi habitat satwa namun sekarang menjadi lahan yang dikuasai manusia baik sebagai kebun atau pun permukiman.
Peristiwa yang menimpa harimau jantan yang kehilangan kampung mukimnya mungkin akan lebih kerap terjadi.*
Baca juga: Harimau yang masuk ke pasar dibawa ke Dharmasraya
Baca juga: Harimau yang terjebak di pasar Riau terluka karena jerat
Pewarta: Fazar Muhardi dan Anggi Romadhoni
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018