"Kami masih belum bisa memahami kenapa direvisi, apa urgensi dan substansinya," kata Ketua Umum Mastel, Kristiono, saat jumpa pers di Jakarta, Rabu.
Mastel menyoroti rencana revisi dalam peraturan tersebut, yang akan mengubah data apa saja yang perlu berada di Indonesia berdasarkan tingkat kepentingannya. Pada peraturan yang lama, pusat data dan pusat pemulihan data (disatster recovery center) wajib berada di Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika membuat klasifikasi data berdasarkan tingkat kepentingannya, yaitu data strategis, data tinggi dan data rendah. Data strategis ditetapkan oleh presiden dan harus berada di Indonesia, secara teknis diatur melalui Perpres.
Data strategis tidak boleh dipertukarkan keluar negeri, yang tergolong dalam klasifikasi ini antara lain data mengenai penyelenggaraan negara dan keamanan dan pertahanan.
Data tinggi dan data rendah dalam kondisi tertentu dapat berada di luar Indonesia, namun, harus melalui kajian dari industri.
Menurut Mastel, data harus berada di Indonesia dilihat dari keamanan maupun kepentingan bisnis. Jika pusat data tidak wajib berada di Indonesia, Mastel berpendapat calon investor asing belum tentu menginvestasikan uang mereka di Indonesia karena mereka masih memiliki opsi untuk menaruh data di negara lain.
Dengan kata lain, Mastel melihat jika peraturan ini disahkan, negara lain yang akan mendapatkan keuntungan dari bisnis data center ini, sementara Indonesia hanya menjadi pasar.
"Data mining ini sangat penting, harus kita kuasai. Lebih diperkuat dengan infrastruktur dan keamanan," kata Kristiono.
Mastel menilai revisi PP nomor 82 tahun 2012 ini merupakan kemunduran karena, menurut mereka, sejak peraturan ini berlaku pada 2012 lalu membawa iklim yang baik untuk industri pusat data di Indonesia.
"Ikut mendorong perkembangan dan pertumbuhan data center," kata Kristiono tentang aturan yang lama.
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018