• Beranda
  • Berita
  • Kementerian ESDM sebut kondisi geografi jadi tantangan transisi ke energi terbarukan

Kementerian ESDM sebut kondisi geografi jadi tantangan transisi ke energi terbarukan

21 November 2018 18:29 WIB
Kementerian ESDM sebut kondisi geografi jadi tantangan transisi ke energi terbarukan
Siswa SMK memasang panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya di atap gedung SMK Prakarya Internasional di Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/5/2018). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Transisi energi terbarukan membutuhkan waktu 20-30 tahun

Jakarta (ANTARA News) - Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan, menjadi tantangan dalam masa transisi menuju penggunaan energi terbarukan.

"Bagaimana mempercepat transisinya, UK dan Denmark cepat berubah dari energi fosil ke energi terbarukan. Indonesia ingin sekali seperti itu, namun kondisi geografi memang tidak bisa disamakan," katanya dalam sambutannya pada Indonesian-German Renewable Energy Day (RE Day) 2018 di Jakarta, Rabu.

Rida menjelaskan saat ini pemerintah masih berfokus pada pemerataan energi di seluruh wilayah Indonesia atau yang disebut energi berkeadilan.

Namun demikian, pemerintah juga ingin secara bersamaan beralih pada energi yang lebih ramah lingkungan.

Adapun saat ini rasio elektrifikasi di Indonesia sudah mencapai 98,5 persen dan itu berarti masih ada 1,5 persen penduduk Indonesia atau kurang lebih sekitar lima juta penduduk yang belum menikmati listrik.

Managing Director E Quadrant Matthias Eichelbronner memaparkan bahwa Jerman memulai transisi energi sejak tahun 1990-an.

Dalam kurun waktu 20-30 tahun, saat ini bauran energi terbarukan di Jerman mencapai sepertiga dari seluruh konsumsi energi.

"Transisi energi terbarukan membutuhkan waktu 20-30 tahun dengan bauran energi 40 Giga Watt untuk tenaga surya, dan 40 Giga Watt sisanya dari energi lain," kata Matthias.

Menurut dia, meskipun hampir 100 persen energi terbarukan di Jerman menggunakan tenaga surya, hal tersebut ternyata belum menjadi solusi akhir sumber pemanfaatan energi terbarukan mengingat kondisi cuaca yang berbeda dengan negara tropis.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Yohanes Bambang Sumaryo mengatakan saat ini pemanfaatan energi terbarukan, khususnya tenaga surya melalui Program Sejuta Surya Atap masih belum maksimal.

"Indonesia masih sedikit sekali. Di data PLN masih 600 rumah tangga yang memasang panel surya atap, sementara Jerman sudah 10 juta rumah tangga, di Australia sudah di atas satu juta rumah tangga," kata Bambang.

Menurut dia, potensi pemanfaatan energi surya di Indonesia sangat besar sekali.

Melalui tenaga surya photovoltaic (PV), kebutuhan listrik dapat terpenuhi setidaknya untuk 1.000 kWh per kapita per tahun.

Baca juga: Asosiasi sebut pengembangan energi terbarukan terbebani regulasi
 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018