Namun banyaknya permintaan untuk mengenal astronomi kemudian mendorong pengelola observatorium terbesar di Indonesia itu membuka diri pada publik.
Observatorium di bawah naungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, menurut Kepala Staf Informasi Bosscha Denny Mandey dibangun tahun 1923 oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging atau Perhimpunan Pengamat Bintang Hindia Belanda pada 1923 dengan untuk memajukan ilmu astronomi di Hindia Belanda.
Pembangunannya bermula dari keinginan astronom berkebangsaan Belanda kelahiran Madiun Dr. J. Voute membuat pusat penelitian antariksa di Pulau Jawa.
Nasib baik kemudian mempertemukan dia dengan Karel Albert Rudolf Bosscha, tuan kebun Malabar yang juga memiliki ketertarikan pada ilmu pengetahuan.
Voute kemudian menceritakan mimpinya membangun pusat pengamatan dan penelitian astronomi, dan Bosscha menyambutnya dengan dukungan.
Pada 1923, KAR Bosscha menjadi perintis sekaligus penyandang dana pembangunan observatorium. Bersama kolega-koleganya, ia juga mengusahakan pembelian Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop Refraktor Bamberg.
Arsitek K. CP Wolf Schoemacher, guru Presiden Soekarno di Technische Hoogeschool te Bandoeng (Institut Teknologi Bandung), merancang bangunan observatorium.
Denny menuturkan bahwa pembangunan observatorium dikerjakan secara cermat dan matang dengan memperhatikan perhitungan geometrik patahan Lembang.
"Karena Lembang merupakan kawasan rawan gempa, sehingga dalam menentukan lokasinya pun merujuk pada peta geologi. Dan lokasi Bosscha berada persis di tepi patahan Lembang. Bukit ini terdiri dari batu cadas yang dilapisi tanah jadi cenderung lebih stabil," kata dia.
Pembangunan observatorium selesai tahun 1928. Observatorium ini ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh pemerintah pada 2004 sehingga keberadaannya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Tahun 2008 pemerintah juga menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu objek vital nasional yang harus diamankan.
12 Teleskop
Observatorium Bosscha, yang kini usianya 90 tahun, memiliki 12 teleskop dengan fungsi berbeda selain teropong besar di dalam kubah raksasanya yang sering dilihat pengunjung.
Dari 12 teleskop itu, hanya enam yang aktif digunakan untuk kegiatan penelitian. Sisanya digunakan untuk keperluan pendidikan saja.
Di antara enam teleskop yang digunakan untuk penelitian ada Teleskop GAO Remote Telescope System.
Teleskop jenis Schmidt-Cassegrain merek Celestron ini punya diameter cermin delapan inchi (sekitar 20 cm). Teleskop yang berada dalam ruangan dengan atap geser ini dapat mengamati penampakan salib selatan yang tidak bisa diamati di belahan bumi lain seperti Jepang dan Amerika Serikat. Biasanya teleskop ini digunakan untuk spektroskopi atau objek-objek yang membentang seperti planetari nebula, supernova, komet, dan benda-benda lain seperti bintang.
"Jadi untuk kebutuhan penelitian kami bekerja sama dengan Observatoriumnya Jepang. Kami silih berbagi data terutama penampakan langit. Jepang tidak bisa melihat penampakan langit selatan dan kita tidak bisa mengamati langit belahan utara," kata staf Observatorium Bosscha, Agus Triono, yang biasa melakukan pengamatan menggunakan teleskop GAO.
Selanjutnya ada Teleskop Survey Telescope For Exoplanet and Variable Star atau STEVia, tipe teleskop reflektor Schmidt-Cassegrain dengan diameter cermin utama 27,9 cm dan panjang fokus 1,76 meter.
STEVia dilengkapi dengan teleskop guider yang berfungsi untuk menjaga kestabilan gerakan teleskop utama sehingga mampu mengikuti objek langit dalam waktu lama.
Teleskop dengan sistem kendali komputerisasi yang dapat dikendalikan dari jarak jauh dengan jaringan internet ini digunakan untuk menemukan planet-planet baru.
Denny Mandey menjelaskan Bosscha baru memiliki teropong untuk mencari planet di gugusan bintang ini tahun 2014.
Ia menjelaskan indikasi adanya bintang dapat dilihat dari pendar cahaya. Apabila cahaya bintang redup secara tiba-tiba, kemungkinan ada planet yang melintas.
"Prinsipnya seperti melihat gerhana matahari cahaya redup kan? Kita lihatin terus, nanti kalau beruntung ada planet yang lewat di depannya cahayanya redup. Cara lain dengan melihat bintangnya itu diam atau goyang-goyang. Kalau dia menunjukkan gejala seperti itu kemungkinan ada bintangnya," katanya.
STEVia juga digunakan dalam pengamatan objek dan peristiwa langit yang berlangsung singkat, seperti supernova dan okultasi bintang.
Bosscha juga punya Teleskop Surya, yang terdiri atas tiga teleskop Coronado dengan tiga filter yang berbeda, serta sebuah teleskop proyeksi citra matahari yang sepenuhnya dibuat sendiri.
Teleskop Surya digunakan untuk mengamati aktivitas di permukaan matahari, terutama bintik matahari (Sunspot) dan lidah api (prominesa). Penelitian aktivitas matahari ini begitu penting karena berhubungan dengan cuaca antariksa yang berdampak pada iklim di bumi, operasional satelit, saluran komunikasi, dan keselamatan penerbangan.
Denny juga sempat menyampaikan penjelasan mengenai siklus hidup matahari dari mulai terbentuk hingga sekarang. Menurut dia, saat ini manusia sedang hidup sekitar 4,5 miliar tahun usia matahari.
Teleskop penelitian selanjutnya adalah Teleskop Bosscha Robotik. Teleskop ini merupakan teleskop paling baru di Observatorium Bosscha.
Secara umum teleskop ini digunakan untuk penelitian, survei, dan deteksi planet di bintang lain. Teleskop juga sering digunakan untuk penelitian asteroid berjarak dekat dengan bumi serta penelitian dan pengamatan berkala bintang variabel.
Teleskop yang terpasang di gedung surya ini dapat berjalan sepenuhnya secara otomatis dan beradaptasi terhadap kondisi langit dan lingkungan. Teleskop robotik juga sepenuhnya dapat dikendalikan dari jarak jauh dengan menggunakan hubungan internet.
Di Bosscha juga ada Teleskop Bamberg jenis refraktor dengan diameter lensa 37 cm dan panjang fokus tujuh meter. Jangkauan teleskop ini hanya terbatas untuk pengamatan benda langit dengan jarak zenit 60 derajat, atau untuk benda langit yang lebih tinggi dari 30 derajat dan azimut dalam sektor Timur-Selatan-Barat.
Objek langit yang berada di langit utara atau azimut sektor Timur-Utara-Barat tak dapat dijangkau oleh teleskop ini.
Teropong Bamberg digunakan untuk pengamatan kurva cahaya bintang-bintang variabel, serta fotometri gerhana bintang, misalnya pengamatan kurva cahaya bintang ganda delta-Capricorni. Teropong juga digunakan untuk pengamatan matahari dan permukaan bulan.
Saat ini teleskop terbesar kedua di Observatorim Bosscha ini sudah tidak digunakan untuk penelitian karena ada teropong baru dengan teknologi lebih canggih.
Meski begitu, Bamberg masih digunakan untuk pendidikan publik, misalnya pada malam umum untuk melihat kawah bulan, bintang ganda visual, gugus bintang, planet-planet, dan benda langit lainnya secara langsung melalui okuler teropong.
Teleskop milik Bosscha lainnya adalah Teleskop Ganda Zeiss. Teleskop ganda Zeiss 60 cm ini ada dia satu-satunya gedung kubah di Observatorium Bosscha yang telah menjadi tengara Bandung utara.
Di banding dengan teleskop-teleskop lainnya, masyarakat akan lebih mengenal teropong dalam kubah besar ini. Bahkan banyak yang mengira bahwa teleskop ini adalah teropong Bosscha.
Teleskop ini merupakan jenis refraktor (menggunakan lensa) dan terdiri dari dua teleskop utama dan satu teleskop pencari. Diameter teleskop utama 60 cm dengan panjang fokus hampir 11 meter, dan teleskop pencari berdiameter 40 cm.
Medan pandang teleskop pencari 1,5 derajat atau sekitar tiga kali diameter citra bulan purnama. Medan pandang langit yang luas ini memudahkan untuk mengidentifikasi bintang yang hendak diamati, dibandingkan dengan citra bintang di langit melalui peta bintang.
Teleskop ini dapat mengamati bintang-bintang yang jauh lebih lemah cahayanya, kurang lebih 100.000 kali lebih lemah dari bintang yang dapat dilihat oleh mata telanjang.
Teropong ganda Zeiss ini khusus untuk mengamati benda langit tertentu, seperti bintang ganda visual, dan hingga saat ini ada koleksi sekitar 10.000 data pengamatan bintang ganda visual yang diperoleh dengan menggunakan teleskop Zeiss.
Selain itu, teleskop digunakan untuk pengukuran paralak bintang guna menentukan jarak bintang.
Bangunan kubah teropong dirancang oleh arsitek K. C. P. Wolf Schoemacher. Kubah gedung memiliki bobot 56 ton dengan diameter 14,5 meter dan terbuat dari baja setebal dua mm.
Teleskop dan gedung kubah merupakan sumbangan dari Bosscha yang secara resmi diserahkan kepada Perhimpunan Astronomi Hindia-Belanda pada Juni 1928.
Tantangan
Masifnya pembangunan hotel, permukiman dan kawasan wisata di Bandung utara membuat keberadaan Observatorium Bosscha mendatangkan makin banyak polusi cahaya, membuat penelitian tidak bisa optimal seperti puluhan tahun lalu.
Polusi cahaya telah membuat jarak pengamatan menjadi terbatas. Bintang-bintang atau galaksi yang sebelumnya bisa terlihat di gugus penampakan selatan jadi terhalang oleh polusi cahaya yang memantul dan membias.
"Fungsi kami masih tetap sama, meski tantangan kita saat ini adalah polusi cahaya," ujar Kepala Observatorium Bosscha, Premana W. Premadi.
Bosscha melalui tim ITB telah berusaha menyampaikan pemahaman kepada masyarakat sekitar agar tidak menggunakan lampu penerangan yang cahayanya memantul ke angkasa, dan menyarankan mereka memakai shielded lighting.
Premana khawatir belum adanya aturan ketat mengenai penggunaan lampu bisa membuat seluruh langit di Indonesia, khususnya kota besar, tidak dapat melihat miliaran gugusan bintang yang terbentang.
"Saya takutnya anak saat ini ditanya berapa jumlah bintang, mereka menjawabnya tiga. Itu miris, keindahan langit tidak bisa dilihat oleh penerus generasi kita," katanya.
Kondisi yang membuat Observatorium Bosscha tidak bisa optimal menjalankan fungsi mendorong pemerintah membangun observatorium di Gunung Timau, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Obsevatorium di Gunung Timau digadang-gadang menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Baca juga: Lapan akan bangun observatorium nasional di Kupang
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018