Kenaikan bunga acuan BI ampuh topang Rupiah

23 November 2018 21:27 WIB
Kenaikan bunga acuan BI ampuh topang Rupiah
Arsip Foto. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah memberikan paparan pada acara "Workshop Treasury Solution For Bank Pembangunan Daerah" di Jakarta, Rabu (26/4/2017). (ANTARA/Muhammad Adimaja)

Alhasil imbal hasil atau bunga instrumen di pasar keuangan seperti obligasi pemerintah masih atraktif


Jakarta (ANTARA News) - Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang "cukup mengejutkan" pada 15 November 2018 lmasih ampuh meningkatkan daya tarik pasar keuangan domestik, sehingga turut menopang keberlanjutan penguatan rupiah hingga akhir pekan ini.

Nilai tukar mata uang Garuda di pasar spot pada Jumat ini ditutup di level Rp14.544 per dolar AS atau menguat 0,25 persen dibandingkan penutupan pada Kamis (22/11).

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada Antara di Jakarta, Jumat, mengatakan investor global masih mengapresiasi sikap Bank Sentral yang menaikkan 7-Day Reverse Repo Rate menjadi enam persen. Total dalam kurun enam bulan saja, BI sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 175 basis poin, atau 1,75 persen.

Alhasil imbal hasil atau bunga instrumen di pasar keuangan seperti obligasi pemerintah masih atraktif.

Selama November 2018, arus modal asing yang masuk ke pasar sekunder SBN sebesar Rp27,5 triliun. Sehingga sejak awal September sampai dengan akhir November, modal asing yang masuk secara total mencapai Rp47,4 triiun.

"(Penguatan rupiah) karena investor global tetap memiliki pandangan positif terhadap kebijakan peningkatan suku bunga oleh Bank Indonesia, dan tidak adanya pasokan baru (new issuance) Surat Berharga Negara sampai akhir tahun dari Pemerintah," kata Nanang.

Dari faktor eksternal, penguatan nilai tukar mata uang rupiah juga terbantu dari dinamika pasar keuangan global terutama terkait ekspetasi terhadap kebijakan The Federal Reserve, Bank Sentral AS, yang diperkirakan mulai melunak dalam menaikkan suku bunga acuannya.

"Dari sisi global, pasar saham merespon positif sinyal kebijakan moneter yang lebih lunak dari beberapa pejabat The Fed, setelah sebelumnya mengkhawatirkan langkah The Fed yang terlalu cepat menaikkan suku bunga sehingga memicu pelepasan saham," jelas Nanang.

Bank Sentral sejauh ini masih mengutamakan pembentukkan nilai tukar rupiah oleh mekanisme pasar yang wajar dan efisien.

"Kami terus memonitor penguatan kurs Rupiah ini," ujar Bank Sentral.

Namun, potensi tekanan terhadap rupiah tidak sepenuhnya telah hilang. Pergerakan rupiah di pekan depan akan dipengaruhi dari hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping pada Pertemuan G-20 di Argentina akhir November 2018 ini.

Baca juga: Darmin: pembenahan neraca transaksi berjalan butuh tahunan

Pelaku pasar dan investor juga menanti realisasi kebijakan perbaikan defist transaksi berjalan Indonesia, yang dalam dua kuartal terakhir tertekan oleh melejitnya impor migas. Di kuartal III 2018, defisit transaksi berjalan menyentuh 3,3 persen dari Produk Domestik Bruto.
Secara kumulatif sepanjang 2018, defisit transaksi berjalan tercatat 2,86 persen PDB.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan tekanan kepada nilai tukar rupiah belum akan usai dalam waktu dekat.

Selain perbaikan defisit transaksi berjalan, Darmin menyebut pemerintah dan Bank Sentral juga masih mewaspadai tekanan dari kenaikan suku bunga The Fed hingga 2020 yang bisa menimbulkan arus modal keluar.

"Jangan bermimpi ini akan selesai, karena bisa berlangsung dua atau tiga tahun lagi," ujar Darmin.

Baca juga: Rupiah Jumat sore menguat jadi Rp14.544
 

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018