Semarang, (ANTARA News) - Film berjudul "Dragon Dance" karya pelajar SMP Keluarga Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, masuk nominasi 12 besar kategori film dokumenter dari 314 film pendek yang terdaftar pada lomba Gelar Karya Film Pelajar (GKFP) 2018.Film Dragon Dance menjadi satu-satunya nominasi karya dari pelajar SMP, sedangkan nominasi lainnya merupakan karya dari pelajar sekolah tingkat atas (SLTA)
Dalam keterangan panitia yang diterima Antara di Semarang, Selasa, disebutkan nilai-nilai positif yang tertuang pada film karya 10 pelajar SMP tersebut membuat jajaran juri GKFP 2018 memilih menjadi salah satu nominasi film kategori dokumenter.
Salah seorang juri GKFP 2018, Anggi Frisca mengapresiasi film Dragon Dance yang berhasil menjadi nominasi dan mampu menyaingi karya-karya para pelajar yang berada satu level di atas mereka.
Menurut dia, hal ini menunjukkan bahwa bakat-bakat menjadi "movie maker" tidak hanya terlihat dari pelajar sekolah menengah tingkat atas tapi juga di kalangan pelajar SMP.
"Menariknya lagi, film Dragon Dance menjadi satu-satunya nominasi karya dari pelajar SMP, sedangkan nominasi lainnya merupakan karya dari pelajar sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)," ujarnya.
Anggi menyebutkan potensi yang dimiliki pelajar SMP dalam membuat film dokumenter, cukup besar karena dengan usia yang masih sangat muda sudah bisa membuat sebuah karya.
"Saya tonton filmnya dan menurut saya Dragon Dance berhasil mengemas konten dengan menarik dan menampilkannya dengan cara yang berbeda dibanding karya-karya lainnya di perlombaan ini sehingga dari sekian banyak film," katanya.
Lebih lanjut, Anggi menuturkan bahwa keberanian membuat film di usia sangat muda menunjukkan bahwa siswa SMP Keluarga Kudus ini memiiliki jiwa kepemimpinan dan mampu menyelesaikan permasalahan yang ada.
Film Dragon Dance mengangkat cerita tentang barongsai, kesenian yang dibawakan secara beregu dengan memainkan sepuluh tongkat pada badan naga.
Para pemainnya bergerak membentuk gelombang nan harmonis, sesuai karakter makhluk naga yang banyak tersebar dalam mitos-mitos di masyarakat.
Selain memerlukan kekompakan antar pemain, barongsai juga mengandung banyak nilai moral seperti persatuan, toleransi hingga rasa saling percaya.
"Menurut kami, barongsai merupakan kearifan lokal yang sangat bagus untuk dijadikan film dokumenter karena menunjukkan sikap toleransi antarumat beragama. Terlebih lagi, di Kudus banyak teman-teman kami juga terlibat dalam kesenian ini," kata Patrick Tjhang, siswa kelas 3 SMP Keluarga Kudus yang menyutradarai film dokumentasi berdurasi 10 menit.
Ia tidak menyangka karyanya dan teman-temannya bisa lolos sebagai nominasi pada GKFP 2018.
"Ini membuat saya semakin termotiviasi untuk membuat film yang lebih bagus lagi, apalagi saya sebagai sutradara juga mendapat ilmu baru tentang penyutradaraan yang baik," katanya
Hal senada juga diamini oleh Michael Vincentzo yang dalam pembuatan film Dragon Dance menjadi juru kamera.
Patrick dan Michael tidak berdua saja dalam menggarap film Dragon Dance, terdapat delapan siswa lainnya yang tergabung dalam Tim Titanium SMP Keluarga Kudus yang juga berbagi peran dan tanggung jawab sehingga film ini rampung, mulai dari artistik, penata suara, penulis skenario hingga editor.
Sementara itu, Warih Bayu Wicaksana, Guru SMP Keluarga Kudus yang membimbing para siswa dalam pembuatan film Dragon Dance ini mengatakan, lolosnya film tersebut di ajang GKFP 2018 diharapkan bisa memompa motivasi para siswa lainnya untuk menghasilkan karya? karya yang lebih baik lagi.
"Kami percaya bahwa kreativitas itu bisa muncul di mana saja, termasuk di Kudus yang bukan merupakan kota besar. Dengan pencapaian Dragon Dance masuk sebagai nominasi di GKFP 2018, kami dari pihak sekolah optimsitis, nantinya akan muncul karya? karya dari para siswa yang lebih baik lagi di masa mendatang," ujar Warih.
Baca juga: Kemendikbud sediakan beasiswa untuk pemenang film pelajar
Baca juga: Pelajar SMK-Wikrama Bogor wakili Indonesia di Festival Film Jepang
Baca juga: 25 Film Berkompetisi Dalam Festival Film Pelajar
Pewarta: Wisnu Adhi Nugroho
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2018